7. Rasa yang Dipaksa Mati dan Rasa yang Mulai Hadir

21.7K 925 8
                                    

Revan mengetuk pintu kamar putrinya. Di ketukan ketiga, pintu terbuka. Clarissa berdiri dengan senyum riang menyapanya.

"Sudah siap?" Revan membalas senyum Clarissa.

Clarissa mengangguk. Ia menggandeng tangan Revan.

Revan sempat melihat ke dalam kamar. Tidak ia temukan sosok Meira. Ia sudah pasrah dan mempersiapkan alasan di hadapan ayahnya karena tidak berhasil membujuk wanita itu untuk ikut makan malam bersama.

Sore tadi Alisha meneleponnya mengatakan bahwa Meira tidak mau pergi. Suara Alisha terdengar seperti menaruh curiga.

"Kalian ada masalah? Sepertinya Meira memang terlihat aneh. Dia nggak seceria dulu. Aku bahkan pernah menemukannya menangis seperti anak kecil yang kehilangan mainannya." Alisha berujar panjang lebar di telepon. Revan menanggapi dengan mengatakan bahwa Meira sedang sedih dengan kondisi sepupunya dan juga karena sedang mengandung sehingga perasaannya lebih sensitif.

"Iya juga, sih. Tapi, kenapa dia lebih sering di kamar Clarissa?" selidik Alisha. Revan tidak dapat langsung menjawab. Namun, tiba-tiba Alisha berkata," Ah, maaf Revan. Nggak semestinya aku kepo begini dengan rumah tangga kalian. Tapi, aku harap semua baik-baik saja. Pernikahan kalian baru tiga bulan, jangan sampe terus-terusan memendam rasa jika ada masalah. Belajarlah dari pernikahanmu dengan Tiara. Jangan membuat Mama sedih lagi, oke?" pinta Alisha.

Revan tersadar saat Clarissa menarik-narik tangannya. Ia mengajak agar segera jalan.

"Bunda ...?" Revan menggantung ucapannya. Ia ingin bertanya pada Clarissa.

"Bunda masih di toilet, Ayah. Katanya Clarissa pergi duluan aja."

"Bunda, kan,  nggak ikut."

Clarissa menggeleng.

"Bunda ...." Clarissa menoleh ke kamarnya dan setengah berteriak saat melihat Meira ke luar dari kamar. "Itu Bunda!" seru Clarissa dengan senyum semringah.

Revan menoleh dan menyaksikan Meira berjalan pelan ke arahnya, tapi tentu saja dengan tatapan yang bukan mengarah kepadanya, tetapi pada Clarissa.

Revan terpaku, ada yang berdetak aneh di dadanya ketika melihat wajah Meira malam ini yang laksana bunga mekar di pagi hari dan dihiasi tetesan embun, lalu diterpa sinar mentari. Ditambah dengan baju yang membalut tubuh wanita itu, gamis brukat merah maroon dihiasi layer selendang cerruty berbahan satin berwarna merah berbentuk selempang menutupi bagian dada, berpadu dengan jilbab berwarna senada dengan bajunya, membuat Revan terus memaku tatapannya kepada Meira.

"Ayo, pergi!" ucap Meira yang tampak gugup. Ia menyambut uluran tangan Carissa dan menggenggamnya erat. Tubuhnya agak gemetar karena harus berdekatan dengan Revan yang hanya terpisah oleh Clarissa.

Sekelebat siluet malam terkutuk itu muncul tanpa diminta dalam benaknya Meira. Ia berusaha melawan ketakutan yang masih mendekapnya.

Revan menyadari reaksi yang ditunjukkan Meira. Ia berniat melepas genggaman putrinya agar bisa melangkah lebih dulu. Tetapi, Clarissa enggan melepaskan genggamannya.

Alisha yang baru saja ke luar dari kamarnya tersenyum bahagia saat melihat adiknya melangkah bersama  Meira dan Clarissa.
Ada rasa lega yang menjalar di hatinya. Tadinya ia mengira Meira pendiriannya benar-benar tidak bisa diubah. Namun, selepas Magrib Clarissa datang ke kamarnya dan mengatakan bahwa Meira bersedia ikut.

Tanpa pikir panjang, gegas Alisha pergi ke kamar keponakannya dengan membawa beberapa peralatan make up. Dengan penuh semangat ia menawarkan diri untuk merias wajah Meira.

Saat merias wajah Meira, ia bertanya, " Apa yang membuatmu berubah pikiran? Apa kondisi badanmu agak nyaman?"

"Karna Clarissa," jawab Meira.

Bunga Tanpa MahkotaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang