16. Jealous

19.6K 879 10
                                    

Saat subuh datang, Meira terjaga dan sempat terkejut karena menyadari berada di kamar siapa. Ia membuka selimutnya perlahan dan mendapati seluruh pakainnya masih utuh. Ia menarik napas lega. Butuh perjuangan untuk akhirnya semalam ia bisa memejamkan mata. Berkali-kali mengingatkan dirinya bahwa Revan tidak akan berbuat jahat lagi padanya. Ia baru bisa tertidur saat pukul 01.15. Sebelum terpejam, ia sempat menoleh kepada Revan yang sudah terlelap dengan tangan kanannya yang menutupi kedua matanya.

Sekarang ia sudah berada di kamar Clarissa. Membereskan meja belajar Clarissa dan menyiapkan pakaian seragam untuk bocah itu. Setelahnya ia membangunkan Clarissa untuk segera mandi dan sarapan. Bocah itu terbangun, lalu memeluk Meira. Tentu saja hal tersebut membuat Meira merasa begitu sempurna sebagai seorang ibu.

Sebuah ketukan pintu mengejutkan Meira dan Clarissa. Buru- buru Meira beranjak dan membuka pintu. Ia terkejut saat mendapati Rina sedang berdiri di hadapannya dengan tatapan penuh selidik.

"Kamu di sini?"

"Lagi bantu Clarissa bersiap ke sekolah, Bu." Meira memasang senyum takzim.

"Tadi aku ke kamar Revan. Tapi, aku menemukan dia sibuk menyiapkan pakaian kerjanya sendiri." Rina menatap dengan satu alisnya yang terangkat. "Masalah kalian belum selesai?"

Meira terkesiap dan mulutnya sedikit terbuka, tapi tidak ada kata yang keluar. Setelah beberapa detik barulah ia bisa bersuara. "Saya akan kembali ke kamar. Tapi, setelah Clarissa selesai mandi dan berpakaian." Meira menghindari tatapan Rina dengan mengalihkan pandangannya ke arah Clarissa yang sudah turun dari tempat tidur dan bersiap ke kamar mandi.

"Biar Clarissa aku yang urus. Lagi pula aku sudah lama tidak membantunya mempersiapkan diri ke sekolah. Pergilah pada suamimu. Urus dia!"

Meira hanya bisa pasrah. Ia mengangguk sebagai tanda setuju, meskipun hatinya merasa berat. Tidur satu ruangan dengan Revan saja sudah cukup menyiksanya semalam. Sekarang harus mengurus Revan yang akan berangkat bekerja.

"Oh ya, berhenti memanggilku 'Bu'. Panggil Mama saja. Bukankah kita sudah menjadi ibu dan anak?" Bibir Rina yang merah merekah itu sedikit tertarik ke atas. Wajahnya yang terlihat mulus dan hanya sedikit dihiasi keriput itu menunjukkan ketulusan.

Mendengar ucapan mertuanya itu membuat Meira merasakan kehangatan di jiwanya. Ia merasa didekap oleh seorang ibu. Ia seperti kembali memiliki ibu.

"Tadi mencarimu karna aku ke sini mau bilang kalo Clarissa diantar opanya. Dan, kamu ikut saya hari ini!"

"Mau ke mana, Bu ... eh, Ma ...?" Meira merasa kaku mengucapkan kata mama.

"Saya mau ajak kamu shopping, ke salon, dan juga ke tempat biasa saya dan Alisha ikuti yoga. Kita bertiga akan pergi setelah sarapan."

"Ta ... tapi." Meira bingung ingin menolak.

"Urus dulu Revan. Setelah itu ke meja makan!" titah Rina yang langsung masuk ke kamar Clarissa.

Revan yang diam-diam sejak tadi berdiri di ambang pintu kamarnya mendengarkan perbincangan Rina dengan Meira di depan kamar Clarissa, tiba-tiba di benaknya muncul ide.

"Sayang, aku bingung nih, pilih baju yang mana? Pilihin dong!" Suara Revan membuat Rina menatap Meira sebagai isyarat agar segera mendatangi Revan. Meira merespon dengan tersenyum sambil meringis.

"Istri yang baik, harus pandai mengurus suami. Pagi adalah penentu untuk seorang suami melalui harinya apakah dengan mood yang baik atau buruk. Hati-hati kalo mood-nya buruk, karna di luar sana banyak yang bersedia membuat mood-nya membaik." Rina mengelus pipi Meira.

Revan yang berdiri di depan pintu masih dengan kaus putih melirik Meira yang terlihat kesal ke arahnya. Ia memegangi perutnya agar tak mengeluarkan gelak yang akan membuat Meira makin kesal.

Bunga Tanpa MahkotaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang