Lelaki itu kaget dan kepalanya terasa pening akibat satu tinjuan mendarat di pelipisnya. Meira berhasil melepas cekalan tangan pria itu.
"Jangan pernah sentuh Meira. Dia istriku!" Revan menarik kerah jaket Fandi dengan kasar, menusuk kornea lelaki itu dengan sorotan mata yang setajam belati.
Fandi malah terkekeh. Apa pikirannya sudah terganggu? Mingkinkah dia menjadi sedikit 'gila' karena sesal yang mendalam atas keputusannya dulu? Cinta kadang membuat seseorang bisa menjadi 'sinting'.
Revan melayangkan tinjunya lagi ke wajah Fandi. Lelaki itu terhuyung hingga tersandar ke dinding. Beberapa suster dan juga para pembesuk yang melihat peristiwa itu, menontoni mereka. Seorang perawat lelaki bergegas memanggil satpam untuk melerai mereka.
Meira mencoba menghalangi Revan yang bersiap hendak memukul Fandi lagi. Ia Memegangi tangan suaminya.
"Berhenti Revan!"
"Dia sudah mengganggu mu!" suaranya terdengar tinggi.
"Dengar, aku curiga dengan pernikahan kalian." Fandi mencoba berdiri tegak," Meira sering bercerita padaku bagaimana kesehariannya mengasuh anak yang kamu sia-siakan. Bagaimana interaksinya dengan mu. Dan aku merasa aneh, tiba- tiba kalian menikah dalam waktu yang singkat dan terkesan buru- buru," Fandi memandang Revan dan Meira yang bergeming dengan tatapan penuh selidik. Membuat tatapan mata Revan semakin berkilat.
"Aku akan mencari tau."
"Dasar lekaki sialan!" Revan hendak memukulnya lagi, tapi dua orang satpam datang dan melerainya.
Semua orang terlihat tegang. Ada yang mengambil foto dan juga merekam ke video melalui hand phone."Itu anaknya Andi Mahesa," bisik seorang wanita paruh baya kepada temannya yang berdiri di sebelahnya.
"Ini akan menjadi berita bagus," ujar wanita itu sambil terkekeh.
Akhirnya Fandi diminta untuk pergi oleh satpam rumah sakit. Pria itu pun menurut dan masih sempat menyeringai ke Revan saat berlalu dari hadapannya.
Kemudian Revan memandangi orang- orang yang sedari tadi menontoninya.
"Apa ada yang merekam kejadian tadi dengan hand phone?"
Tak ada yang menyahut.
"Dengar, jika ada yang menyebarkannya ke media sosial. Jangan sampai ada yang merasa menyesal telah dilahirkan!" kata- kata Revan itu terdengar sadis. Kemudian ia dan Meira masuk ke ruangan tempat Nisa dirawat.
Orang- orang yang merasa merekam aksi pemukulan yang Revan lakukan tadi dengan segera menghapus rekaman mereka.
Revan dan Meira duduk di sofa. Sementara Nisa masih terlelap.
"Aku harap, setelah ini si Fandi itu tidak mengganggu mu lagi, juga menyentuhmu!" Nafasnya masih terdengar kurang teratur.
"Revan ...."
"Aku tidak mau ada yang melecehkan mu. Cukup aku orangnya. Cukup aku!" Revan menyorotkan dua bola mata yang keruh.
Meira meraih tangan Revan, menggenggamnya erat.
"Cukup aku yang melecehkan mu," lirihnya. Revan mengutuk dirinya sendiri, dialah lelaki yang sudah melecehkan Meira. Cukup dirinya saja. Rasa sesal dan penuh dosa kembali tersirat dalam sorot matanya.
"Berhenti bicara seperti itu," ujar Meira dengan netranya mulai terasa berembun.
Revan tergugu. Setiap mengingat dosa yang telah ia lakukan itu.
Meira merebahkan kepala suaminya ke atas bahunya. Tak ada kata yang terucap, hanya air mata yang seakan berbicara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bunga Tanpa Mahkota
General FictionBagaimana rasanya jika menikah dengan orang yang telah merenggut kehormatanmu?