Bunga Tanpa Mahkota

17K 668 7
                                    

Amarahnya perlahan semakin naik hingga ke ubun-ubun. Rahangnya mengatup rapat membuat tonjolan di pipi terlihat. Pikiran-pikiran negatif mulai berkelebatan di benaknya. Sepertinya setan sedang  membisiki kata- kata yang semakin meletupkan emosi.

Ia duduk di tempat tidur. Mencoba menenangkan diri walau, pada kanyataannya sangat sulit untuk bisa berpikir .jernih

*****
Meira baru sampai di rumah saat Clarissa sudah terlelap. Ia terkejut saat masuk ke kamar gadis kecil itu.
Ada sosok pria yang ia rindukan di sana, sedang menyelimuti putri kecilnya.

"Revan ...," Meira sangat bahagia. Rasanya ingin segera berlari ke dalam pelukan pria itu. Tetapi, lelaki itu hanya menunjukan raut wajah yang dingin.

Tanpa sepatah kata pun terucap, Revan melewati Meira yang tampak bingung. Ia pergi menuju kamarnya. Meira menyusul.

Sampai di kamar, Revan duduk di sofa dengan sorot mata yang tajam. Setajam katana yang siap menebas leher para pengkhianat.

"Ada apa?" Meira menaruh tasnya di meja rias. Pelan ia melangkah mendekati suaminya.

"Maaf, aku tidak tahu kau pulang malam ini." Meira duduk di sebelah Revan."Aku pikir besok seperti katamu waktu ditelpon. Tapi, syukurlah lebih cepat dari yang diperkirakan."  Meira menyunggingkan senyum.

Revan hanya diam. Meira merasa aneh.

"Maaf, aku tadi di rumah sakit. Nisa pingsan, dan sekarang harus di rawat di sana," jelasnya.

Meira memperhatikan Revan yang masih membisu dan tampak tegang.

Meira teringat dengan ponsel. Sedari sore ia tak mengecek ponselnya.

"Ah, apa kau menelpon ku?"

Tak ada sahutan.

"Revan ...," Meira menyentuh lengan Revan yang segera ditepis agak kasar. Sontak membuat ia terkejut.

"Ke rumah sakit, atau bersama mantan kamu, si Fandi?" Menoleh ke arah istrinya dengan  dua bola mata yang menyala.

Meira terkesiap, mengernyitkan dahinya. Kenapa ia menyebut nama Fandi? Berpikir beberapa saat dan kemudian ia mengerti.

"Kau menelponku?" Meira beranjak menuju tasnya. Ia mengambil hand phone dari dalam tas. Kemudian mengecek telepon masuk dan telepon yang diterima. Ia paham sekarang, kenapa Revan terlihat marah.

"Dengar Revan," Meira kembali duduk di sofa bersebelahan dengan Revan," tasku tertinggal di kursi tunggu saat aku shalat magrib. Dan ada Fandi di sana. Apa dia yang menerima telpon?"

"Ya," nafasnya terdengar tidak teratur," dan dia bilang kamu sedang di kamar mandi!"

Meira terperangah mendengar penjelasan Revan. Tak menyangka Fandi bisa berbuat seperti itu.

"Revan, kalau kamu gak percaya. Sekarang bisa telpon tante Erna. Aku betul- betul ada di rumah sakit."

Revan masih bergeming. Meira menjelaskan perihal Nisa yang pingsan hingga Fandi yang menolong mereka.

"Apa tidak ada orang lain selain dia? Kenapa selalu dia?" suaranya masih terdengar marah.

"Kondisinya lagi panik dan terdesak, masa harus pilih- pilih orang?"

Revan mendengus. Kemudian beringsut dari sofa menuju tempat tidur.

"Aku mau istirahat." Ia merebahkan tubuhnya, menghadap ke arah kanan.

"Revan ...."

"Aku cape," sahutnya agak ketus.

Meira mengerucutkan bibirnya. Rasanya sesak sekali setiap kali menghela nafas. Kedua matanya mulai mengabur. Dengan lemas ia mengambil pakaian tidur di lemari, lalu melangkah ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

Bunga Tanpa MahkotaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang