Mulut Meira terkatup seperti pintu yang terkunci rapat saat melihat Erna berjalan mendekat. Meira kembali melihat ke arah polisi yang menunggu aduannya. Namun, tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut perempuan 23 tahun itu.
Erna tersenyum, tetapi sorot matanya tajam penuh peringatan pada Meira. Ia memegang bahu kanan keponakannya, pelan. Di detik berikutnya gerakan pelan itu berubah sedikit menekan sehingga Meira meringis.
"Maaf, Pak. Keponakan saya ini sedang sakit. Akhir-akhir ini suka berhalusinasi." Erna berujar dengan sopan pada polisi yang terlihat bingung.
"Ayo, Meira. Kita pulang, Sayang ...!" Erna meremas bahu Meira lebih kuat.
Ia menunduk hingga mulutnya sejajar dengan telinga Meira."Jangan membuat masalah. Sekarang Nisa sedang di rumah sakit. Dia butuh pengobatan dengan biaya banyak." Erna berujar dengan pelan.
Meira terlihat gelagapan. Kebimbangan tengah mengungkungnya. Tatapan polisi di yang terlihat serius membuat nyali yang tadi berkembang kini menyusut. Matanya mulai berkaca-kaca.
"Lapor atau Nisa tidak bisa mendapatkan pengobatan terbaik!" Lagi Erna berbicara dengan pelan, tetapi penuh tekanan. Cukup membuat Meira didera kekhawatiran.
Akhirnya, Meira kalah. Ia ikut dengan Erna ke rumah sakit karena Nisa sedang dirawat di IGD.
Dalam perjalanan menuju rumah sakit, Erna mengomel di dalam taksi yang sedang melaju. Matanya mendelik dengan raut muka yang begitu kesal tentunya.
"Aku tadi bermaksud menjemputmu. Tapi, aku melihat kamu keluar terburu-buru dari rumah megah itu. Jadi, aku menyuruh supir membuntutimu. Jangan seperti itu lagi. Kalo tidak, Nisa akan menanggung akibatnya." Erna mengusap sudut matanya dengan tisu. Ia terisak-isak.
Meira hanya diam. Ia tidak tahu apakah tantenya itu benar-benar menangis karena khawatir dengan Nisa atau hanya untuk membuatnya merasa bersalah.
💔💔💔Revan bernapas lega saat mendapat kabar bahwa Meira di rumah sakit menemani Nisa. Tadi, lagi-lagi ia diserang rasa panik ketika selesai rapat, Alisha menelepon dan mengatakan kalau Meira pergi tanpa pamit.
Revan segera menuju rumah sakit untuk melihat dan sekaligus mengurusi masalah biaya perawatan Nisa. Ia bertanggungjawab pada gadis itu karena telah menjalin kesepakatan dengan Erna.
Dalam waktu dua puluh menit, Revan telah sampai di rumah sakit. Ia melihat dari balik kaca pintu, Meira sedang duduk di kursi menghadap ke ranjang. Wanita itu memandangi Nisa yang masih terlelap.
Erna baru saja dari ruangan dokter yang menangani Nisa terlihat senang dengan kehadiran Revan. Ia menyapa dengan sopan dan kemudian menceritakan kondisi Nisa yang menurut dokter semakin parah, dengan ekspresi yang dibuat begitu sedih.
Leukemia itu semakin meluas menyerang tubuh gadis 19 tahun itu. Kankernya sudah mencapai stadium III. Kemoterapi harus segera dilakukan. Namun, tentu serangkaian pemeriksaan harus dijalani sebelum kemoterapi dilakukan. Tentu itu semua membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Revan paham. Ia berjanji akan menjamin semua pengobatan Nisa.
Erna terlihat lega. Ia tidak akan menceritakan peristiwa dua jam lalu soal Meira yang pergi ke kantor polisi. Takut kalau Revan atau Andi Mahesa tahu, bisa-bisa pembiayaan Nisa akan dihentikan.
💔💔💔
Meira mengusap pipi Nisa yang pucat dan tirus. Ia menangis melihat kondisi gadis itu. Teringat dua tahun lalu, saat Nisa memberitahunya kalau kerap tubuhnya didera demam. Tubuhnya kerap berkeringat di malam hari walau saat itu cuaca dingin. Gadis itu sering pingsan. Kadang-kadang terdapat lebam biru di pergelangan tangan dan kakinya. Semakin hari badannya terlihat kurus. Akhirnya Meira membawa Nisa ke dokter.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bunga Tanpa Mahkota
Narrativa generaleBagaimana rasanya jika menikah dengan orang yang telah merenggut kehormatanmu?