8. Menyerahkan Diri?

22.4K 915 3
                                    

Suara isakan itu kembali memenuhi indera pendengarannya. Suara yang belakangan kerap ia dengar walaupun samar, tetapi mampu membuatnya tersentak bangun dari tidurnya. Ia terduduk dengan kaus putihnya yang dibasahi keringat dingin. Tadi, lagi-lagi mimpi buruk hadir. Suara jeritan, tangisan, dan sorot mata penuh luka menjadi adegan-adegan yang berulang kali hadir dalam tidurnya belakangan ini.

Revan menyingkap selimutnya. Ia meraih gelas dan menuangkan air mineral dari teko kaca yang berada di nakas, lalu meminumnya hingga tandas.
Ia mengusap wajahnya dengan kasar. Rasa bersalah masih melekat di relung jiwanya. Belum pernah ia merasa begitu berdosa seperti saat ini.

Suara isakan itu kembali tertangkap oleh telinganya. Bukan hanya malam ini saja, tetapi di malam-malam sebelumnya isakan yang samar-samar itu seperti merayap di dinding kamarnya, mengingatkan bahwa dirinya seorang pria brengsek.

Ia tahu itu berasal dari mana dan siapa. Ia ingin menerobos tembok yang memisahkan antara dirinya dan orang yang kerap terisak itu. Lalu, bersimpuh untuk meminta maaf. Hanya saja, itu tidak pernah ia lakukan karena ketakutan lain muncul. Takut jika wanita tersebut justru semakin histeris.

Tadi, Revan menolak tidur bersama Clarissa. Ia hanya menemani sebentar, menyelimutinya lalu mengecup kening putrinya itu. Sesuatu yang jarang ia lakukan. Untung saja Clarissa bisa menerima penolakannya.

"Tapi, nanti kapan-kapan bobo di sini ya, Ayah," pinta Clarissa. Revan hanya merespon dengan mengusap kepala putrinya dan mengangguk perlahan.

Revan sempat melirik Meira yang duduk di ranjang dengan selimut menutupi sebagian tubuhnya. Wanita itu membuang pandangan saat tahu Revan meliriknya.

Helaan napasnya terdengar begitu berat. Ia menapaki lantai keramik yang terasa dingin, menuju balkon. Ia berdiri di balik pagar besi menatap langit yang kelam.

Meira yang puas menangis, mengusap air matanya dengan kasar. Pertemuan dengan Fandi sungguh menambah menghadirkan luka di hatinya yang sudah porak-poranda. Ia menarik napas panjang, kemudian beranjak menuju balkon. Ia ingin berdiri menikmati malam meskipun angin yang menyentuh kulitnya cukup menimbulkan gigil.

Meira berdiri di balik pagar besi. Ia menaruh siku kanannya di pagar, lalu  telapak tangannya menopang pipinya. Detik demi detik berlalu dengan tenang dan sunyi.

Revan mengalihkan pandangannya  tepat ke balkon kamar Clarissa yang bersebelahan dengan kamarnya. Ia tertegun melihat Meira sedang melamun. Lalu, memandangi wanita itu.

Meira menyadari seperti sedang ada yang mengamatinya. Ia menegakkan kepala dan menoleh ke kanan. Di bawah cahaya lampu balkon yang kekuningan, matanya bertemu dengan tatapan Revan.

Keduanya terdiam untuk beberapa detik. Revan masih menatap tepat ke mata Meira.

Buru-buru Meira berpaling saat menyadari tatapannya yang sempat terpaku ke arah Revan. Cepat ia melangkah masuk, menutup pintu kaca dengan rapat. Ia meraba dadanya, ada yang berdetak-detak di sana. Sesuatu yang sulit terjemahkan. Tatapan Revan tadi, yang biasanya begitu ia benci dan menghadirkan ketakutan. Namun, kali ini terasa sedikit berbeda. Seperti menemukan sesuatu yang ia sendiri tidak paham.

Revan masih tertegun di balkon. Ia merasakan getar-getar halus kembali bergerak-gerak di dinding hatinya. Ia teringat perkataan Indra saat bertandang ke rumahnya. Sahabatnya itu  memperhatikan dari balik dinding kaca ruang keluarga yang menghadap tepat ke taman samping rumah, di sana Meira yang sedang menemani Clarissa bermain di taman samping

"Matanya, Bro. Cakep, bikin adem," kata Indra.

Saat itu Revan hanya menggeleng-gelengkan kepala mendengar pendapat Indra. Ia tidak terlalu peduli.

Bunga Tanpa MahkotaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang