Alisha teringat tentang masa-masa berada di titik paling rendah. Dikhianati, di-bully oleh lelaki yang begitu ia cintai hanya karena dirinya mandul, lalu diceraikan meskipun Andi telah berusaha mencegah agar perceraian itu tidak terjadi. Akan tetapi, semua usahanya gagal. Alisha pun membiarkan semua terjadi. Pernikahan yang ia bina selama delapan tahun akhirnya karam. Ia bingung harus berjalan ke arah mana. Pelampiasan dukanya justru ke minuman keras.
Malam demi malam ia lalui dengan bersenang-senang yang sebenarnya hanya menghadirkan kebahagiaan semu. Saat terbangun dan tersadar, ia kembali berada dalam lautan nestapa. Rasa sakit di hatinya tetap ada.
Sampai pada akhirnya ia mengalami over dosis minuman keras. Ia harus dirawat di rumah sakit lalu menjalani serangkaian konseling dan terapi psikologis. Ia sempat ditangani oleh seorang psikiater, lalu bertemu dengan seorang psikolog bernama Dea yang setia mendampinginya.
Beberapa bulan berlalu, Alisha seperti terlahir kembali. Ia lebih percaya diri, lebih ikhlas menerima takdirnya, dan bersumpah untuk berubah. Pelan-pelan ia memperbaiki diri dan hidupnya, lebih mendekatkan diri pada Tuhan.
Alisha mendesah mengingat hari-hari buruknya. Ia membayangkan bagaimana perasaan Meira. Diperkosa dan harus terjebak pada pernikahan yang memakasanya setiap saat melihat sang pelaku. Ditambah keguguran yang dialami wanita itu, sangat membuatnya terguncang. Wajar saja jika sering menangis, melamun, dan terkadang dibayangi mimpi buruk.
Alisha memutuskan untuk mencoba membujuk Meira melakukan pemeriksaan kejiwaan. Ia pun mendatangi Meira yang masih suka berdiam diri di kamar Clarissa. Ia duduk di sofa setelah diizinkan masuk.
"Kita jemput Clarissa, yuk!" ajak Alisha. "Habis itu pergi ke kafe atau ke mana gituh, ngajakin Clarissa makan es cream. Gimana?" tawar Alisha. Ia berencana akan membicarakan soal rencananya mengunjungi psikolog secara santai. Oleh karena itu, ia rasa berbicara sambil menikmati makanan adalah pilihan yang barangkali bisa memberikan suasana nyaman pada Meira.
Meira yang duduk di sebelah Alisha tidak langsung menjawab. Ia terlihat sedang berpikir.
"Dari pada di sini terus. Suntuk!" bujuk Alisha.
"Kadang aku malu pergi ke luar. Seakan-akan orang-orang mengejekku. Aku masih saja merasa begitu kotor." Meira merunduk menautkan jemarinya.
"Nggak ada yang mengejekmu. Percayalah." Alisha mengusap-usap bahu Meira dengan lembut.
Meira masih berpikir. Ia menimbang-nimbang ajakan Alisha. Ia sudah lama menghabiskan waktu hanya di dalam kamar. Bisa dihitung jari ia pergi keluar rumah.
❤❤❤
Alisha menendang ban belakang mobilnya yang bocor. Ia berdecak kesal sambil berkacak pinggang. Lalu, menelepon bengkel langganannya untuk menolongnya.
Alisha masuk ke mobil dan mendengkus kesal. Ia melihat jam sudah hampir di angka 11.40.
"Kita telpon pihak sekolah dulu. Ijin jemput Clarissa terlambat." Alisha menyentuh layar ponselnya dan menelepon sekolah Clarissa.
Meira hanya diam memperhatikan Alisha yang kini sudah terhubung ke sekolah. Beberapa detik kemudian Alisha terlihat terkejut.
Fortuner putih berhenti di depan mobil Alisha. Seorang pria ke luar dari mobil itu dan menghampiri Alisha.
Alisha menyudahi pembicaraannya dengan guru kelas Clarissa. Ia membalas sapaan pria yang berdiri di sampingnya.
"Indra ...? Wah, kayaknya kali ini kamu bermanfaat, deh."
"Buset, bermanfaat. Emang kemaren-kemaren aku nggak bermanfaat?" protes Indra. Ia melemparkan senyum ke arah Meira yang sempat meliriknya sesaat.
Meira tidak merespon senyuman Indra. Ia memandang ke arah jalan yang cukup ramai oleh lalu-lalang kendaraan dan para pejalan kaki. Ia selalu merasa tidak begitu nyaman jika disapa Indra. Sejak dulu, ketika masih berstatus pengasuh. Ditambah sejak hari terkutuk itu, ia semakin tidak nyaman jika disapa seorang pria.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bunga Tanpa Mahkota
Ficción GeneralBagaimana rasanya jika menikah dengan orang yang telah merenggut kehormatanmu?