Meira memandangi lima lembar jilbab buatan perancang terkenal yang dihadiahkan Alisa untuknya. Kakak iparnya itu baru pulang dari luar kota karena sedang membuka cabang toko sepatu dan tas di daerah Kalimantan Selatan dan Surabaya. Hampir dua bulan ia pergi.
Meira tertegun karena dua bulan ini enggan menutup rambutnya dengan jilbab. Kekecewaan yang begitu mendalam membuatnya memutuskan untuk tidak lagi mengenakannya. Ia merasa tidak pantas. Selain itu, juga ada amarah di dadanya.
Tangannya agak gemetar saat hendak menyentuh kain-kain berbentuk persegi empat yang terlipat rapi di dalam kotak. Ia menyentuh kain paling atas yang berwarna pastel. Lembut. Ia memejamkan mata sesaat, lalu menarik tangannya dari kain tersebut. Ia teringat saat memprotes pada Nisa--sepupunya--tentang jilbab.
"Kenapa Kakak membuangnya?" Nisa memunguti jilbab-jilbab yang Meira lemparkan ke lantai.
"Buang atau kalo perlu bakar!" teriak Meira.
"Kenapa? Bukankah Kakak bilang ingin memakai jilbab hingga akhir hayat. Kakak dulu begitu bersemangat untuk memakainya. Tapi, kenapa sekarang Kakak justru membuangnya?" Mata Nisa terlihat berkaca-kaca. Ia memeluk kain-kain jilbab itu.
"Kamu pernah bilang kalo jilbab menghindarkan kita dari fitnah, dari kejahatan para lelaki brengsek.Tapi, kenapa aku tetap dilecehkan? KENAPA?!" Meira merosot ke lantai. Menyandarkan kepalanya ke tepi ranjang sambil terisak-isak.
Nisa bergeming. Ia hanya bisa ikut menangis.
Meira mengusap air matanya dengan pelan. Ia menutup kotak berwarna merah hati itu, memasukannya ke lemari pakaian di rak paling bawah.
Terdengar pintu kamar terbuka, ternyata Clarissa yang datang dengan senyum riang. Ia mengenakan jilbab berwarna pink dengan gambar strawberry di bagian ujung jilbab.
"Bunda, Onti kasih ini. Bagus nggak, Bunda? Kata Onti Clarissa cantik pake jilbab."
Meira mengusap kepala Clarissa. Ia memandangi bocah yang kini sibuk bercermin. Beberapa kali bocah itu tersenyum, berputar, dan kembali tersenyum di depan cermin.
"Cantik," ucap Meira dengan suara parau.
"Clarissa, kan, mau kayak Bunda. Pake jilbab biar cantik. Tapi, kenapa kok, sekarang Bunda nggak pake jilbab?" Clarissa berbalik menatap Meira yang terlihat gelagapan. Hening sesaat.
"Oh, pasti karna ketinggalan di rumah Bunda, ya? Makanya Bunda nggak pake jilbab." Clarissa menebak-nebak. Meira terdiam.
"Clarissa mandi, yuk. Udah jam tujuh. Waktunya ke sekolah, kan?" Meira berusaha mengalihkan Clarissa agar tidak membahas soal jilbab lagi.
"Iya. Tapi, hari ini Bunda anterin ke sekolah. Clarissa nggak mau dianter Pak Supir. Maunya Bunda." Clarissa memohon. Kedua matanya memancarkan penuh pengharapan.
"Pake jilbab dari Onti. Tadi Onti kasiin Bunda jilbab, kan?" lanjut Clarissa. Meira mengangguk.
Clarissa segera membuka jilbabnya, masuk ke kamar mandi dengan perasaan riang. Ia benar-benar berharap pagi ini diantar ke sekolah oleh Meira. Sebelumnya, memang Meira yang selalu mengantar dan menjemput. Namun, setelah menikah dengan Revan, justru tidak pernah lagi. Pagi ini, Clarissa sangat berharap Meira kembali menemaninya. Ia juga berencana ingin mengatakan pada guru dan teman-temannya bahwa sekarang sudah mempunyai ibu.
Meira masih melamun duduk di tepi ranjang. Ia sedang berpikir dalam kebimbangan. Wanita itu pernah memprotes pada Tuhan akan takdirnya.
Lagi-lagi air matanya luruh. Ia benar-benar malu karena pernah menyalahkan aturan Tuhan. Malu karena pernah bersumpah untuk tidak memakainya lagi. Ia merasa jika harus mengenakannya lagi bagai seorang yang menjilat ludahnya sendiri. Akan tetapi, melihat Clarissa yang kini telah selesai mandi dan bernyanyi salah satu lagu anak dengan riang sembari mengenakan handuk yang menutup hingga ke dada, lalu berjalan mencari baju di lemari dengan penuh semangat, rasanya Meira tidak tega merusak keceriaan Clarissa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bunga Tanpa Mahkota
Fiksi UmumBagaimana rasanya jika menikah dengan orang yang telah merenggut kehormatanmu?