Revan masih memandangi ponselnya. Ia terlihat ragu untuk menjawab panggilan tersebut. Setelah panggilan berakhir, kembali ponselnya berbunyi. Lagi, ia hanya memandangi.
Revan memutuskan untuk ke luar dari mobilnya. Gerimis menyambutnya. Namun, kembali ponselnya berbunyi untuk ketiga kalinya.
Ia menarik napas lalu menjawab telepon."Aku sudah di depan kantor polisi!" tegas Revan.
"Clarissa ...." Meira terisak.
"Kenapa Clarissa?" Revan mulai dibayangi kecemasan.
"Dia ...."
💔💔💔
Buru-buru Revan melangkah menuju ruangan yang Meira tadi katakan. Jantungnya benar-benar terpompa begitu cepat. Sepanjang perjalanan tadi pikirannya hanya tertuju pada Clarissa.
Revan menerobos pintu ruangan UGD dan melihat putrinya menangis dengan luka di bagian hidung atas yang terletak di antara dua mata. Suster sedang membersihkan lukanya. Sedangkan Meira berusaha menenangkan dengan memegangi tangan kanan Clarissa. Revan mendekat, berdiri di sisi Meira.
"Clarissa, ayah di sini. Tenang, ya," ucap Revan lembut. Ia berusaha tenang meskipun jantungnya berdebar bukan main.
Seorang dokter pria datang dan memeriksa luka Clarissa. Ia menyarankan agar dilakukan rontgen untuk memastikan tidak ada kerusakan di bagian dalam.
"Clarissa, nggak mau disuntik," rengek Clarissa. Ia semakin erat memegang tangan Meira.
Dokter berusia 40 tahunan itu tersenyum. Ia mengajak Clarissa berbicara.
"Kita foto lukanya dulu, ya. Biar tau ada apa, sih, di dalam lukanya. Mau?" Dokter itu menatap Clarissa.
Clarissa mengangguk pelan. Ia bangun dibantu oleh Meira.
"Tapi, Ayah sama Bunda ikut. Boleh?"
Dokter itu mengangguk dengan senyum terkembang. Clarissa pun menurut. Revan menggendongnya dengan perasaan tak karuan.
Setelah lebih satu jam hasil rontgen keluar dan dokter mengatakan tidak ada yang patah atau kerusakan lainnya pada hidung Clarissa. Hanya saja, perlu dijahit karena luka cukup dalam.
Clarissa kembali ketakutan. Ia sangat ngeri membayangkan jarum suntik. Ia pernah disuntik dan juga diinfus saat sakit demam berdarah. Saat itu, usianya empat tahun. Tapi, ia masih ingat bagaimana sakitnya dan ketika sakit hanya Meira yang menemani sementara Revan berada di luar kota.
"Tenang, Sayang. Ada ayah dan Bunda. Kamu pasti berani. Oke?" Revan memberikan seulas senyum agar putrinya tenang. Clarissa pun akhirnya mengangguk pelan.
Semua peralatan telah siap. Proses penjahitan luka di mulai. Wajah Clarissa ditutup kain hijau sehingga yang tampak hanya lukanya saja. Dokter dengan hati-hati menyuntikan obat bius lokal ke luka yang akan dijahit. Sempat Clarissa terpekik dan merintih karena sakit.
Revan memegangi tangan putrinya. Berharap bisa mengurangi rasa sakit yang sedang mendera Clarissa.
Meira yang berdiri di dekat Revan, berusaha menenangkan agar Clarissa tidak menangis dan berontak. Padahal ia sendiri tampak tegang dan takut saat menyaksikan dokter menyuntik Clarissa.
Meira merinding saat dokter mulai menjahit luka Clarissa. Tubuhnya gemetar. Melihat reaksi tersebut, Revan setengah berbisik agar Meira sebaiknya menunggu di luar. Akan tetapi, Meira menggeleng dan ingin tetap menemani.
Dokter mengajak Clarissa berbincang tentang warna kesukaan, film, makanan, tempat yang ingin dikunjungi jika lukanya sembuh. Clarissa merespon dengan antusias, ia sedikit melupakan ketakutannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bunga Tanpa Mahkota
Ficción GeneralBagaimana rasanya jika menikah dengan orang yang telah merenggut kehormatanmu?