17. Ingin Mengulang Akad

18.4K 872 7
                                    

Di lobby hotel, akhirnya Revan berhasil menyusul Meira. Ia mencekal pergelangan tangan istrinya, memegang dengan kuat.

"Saya mau pulang. Maaf kalau ganggu Anda sama cewek tadi." Meira berujar dengan suara parau. Ia berusaha menahan lahar yang tengah meletup-letup di dalam dadanya.

"Ikut aku!" Revan hendak menarik Meira. Namun, wanita itu menahan tubuhnya agar tidak terseret.

"Saya mau pulang!"

Revan menatap Meira. Ia semakin mengencangkan cekalannya dan memaksa Meira mengikuti langkahnya. Namun di dekat lift, ia berhenti karena Tiara baru saja keluar dari lift.

Tiara menatap Meira, beralih ke Revan, kemudian ke tangan lelaki di hadapannya yang begitu erat memegang tangan istrinya. Ia tersenyum tipis dan kembali melihat ke arah Meira yang sedikit menunduk. Ia mengamati dari ujung kepala hingga ujung sepatu yang dikenakan Meira.

"Aku Tiara. Maaf kalo tadi membuat kesalah pahaman." Tiara melempar senyum ramah pada Meira yang sekarang menegakkan lehernya. Ia tiba-tiba merasa ingin tenggelam ke dasar bumi saat melihat dalam jarak dekat rupa wanita yang mengenakan dress hitam selutut itu. Aroma wangi dari wanita tersebut seperti wangi bunga lily. Senyumnya laksana rembulan yang bersinar. Bibirnya merekah bagai mawar merah yang baru saja mekar. Rambut hitam kecokelatan sebahunya tergerai indah. Ah, Meira kembali menunduk.

"Aku pulang dulu. Aku tunggu telpon darimu!" Tiara melirik Revan yang mengangguk kepadanya. Setelah itu, ia melenggang dengan langkah seperti seorang model. Beberapa pasang mata pria menatapnya dengan berdecak.

"Cantik dan ... seksi," komentar Meira sembari menatap kepergian Tiara yang sedang berjalan ke luar.

"Heem." Revan membenarkan. Meira menoleh kepada Revan. Kemudian mendengkus keras.

"Tapi, nggak bikin aku tertarik. Karna sekarang di depanku ada yang lebih menarik," ujar Revan dengan senyum dikulum.

Meira mendelik. Diam-diam ia bersorak dalam hati. Rasa panas di dadanya tadi, perlahan terasa sejuk seperti disirami air hujan.

Revan membujuk Meira agar ikut ke ruangannya. Meira pun mau. Sepanjang perjalanan lelaki itu menggenggam tangan Meira.

Saat pintu ruang kerja dibuka oleh Revan, seketika aroma laut yang berasal dari pewangi ruangan beraroma ocean fresh menyambutnya dan udara sejuk menembus pakaiannya. Sejenak ia merasa begitu nyaman, pikirannya seperti dibasuh air yang mengucur perlahan.

Meira melangkah pelan ke tengah ruangan. Ia menelisik ruangan yang tertata rapi dengan dinding yang didominasi warna putih dan hitam. Ia tertegun saat melihat sebuah figura berukuran 10R berada di meja kerja yang dipenuhi berkas, tempat bolpoin, laptop, asbak dan bunga mawar plastik dalam vas. Di figura itu terpampang foto pernikahannya dengan Revan. Wajahnya terlihat layu di foto itu walau ditutupi oleh make up.

Revan menyuruh Meira duduk di sofa hitam. Kemudian menelepon bagian dapur hotel. Ia meminta dua porsi makan siang diantar ke ruangannya. Setelah menutup telepon, ia mengambil dua botol minuman segar dari kulkas mini yang berada di sudut ruangan dekat dengan sofa.

Dua botol kaca minuman rasa lemon Revan taruh di meja. Ia duduk di sebelah Meira yang masih mengamati ruang kerjanya.

"Tadi itu ibunya Clarissa." Revan membuka pembicaraan.

Meira berhenti mengamati ruang kerja itu dan menoleh pada Revan.
Selama ini ia memang tidak pernah tahu wajah ibunya Clarissa. Di rumah Andi Mahesa, tidak ada satu pun foto Tiara.

"Dia  ...." Meira bingung ingin berkata apa.

"Tadi dia cium aku kayaknya reflek karna seneng aku janjiin suatu hari nanti dia akan kupertemukan dengan Clarissa." Revan membuka tutup botol minumannya. Meminumnya beberapa teguk.

Bunga Tanpa MahkotaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang