3

11.4K 460 7
                                    

Seorang anak kecil berlarian mengelilingi halaman luas yang ditengahnya terdapat rumah menjulang, kaki-kaki kecilnya melangkah mengikuti gerak kupu-kupu yang memenuhi bunga di halaman. Tawa kecilnya tak lepas dari bibir mungil itu, sedangkan tangannya membawa plastik yang bakal ia gunakan sebagai wadah menangkap kupu-kupu.

Menghirup napas lama, anak itu berhenti sejenak untuk merehatkan tubuhnya dibawah pohon mangga. Gigi tengahnya yang ompong berusaha ia perlihatkan, melirik kupu-kupu yang mendekat dengan sendirinya. 

"Terimakasih.." gumamnya pada angin yang berhembus, ia segera memasukkan hewan bersayap itu ke dalam plastik miliknya.

Jauh darinya berdiri sosok perempuan dewasa yang melihat kegiatan kecil tersebut, menatap datar lalu melangkahkan kaki menuju Endaru.

Langkah kakinya sangat pelan, bahkan seringan kapas. Bibir merahnya seakan menyala-nyala diterpa sisa-sisa sinar matahari sore hari, sesampainya disana ia menyunggingkan senyum manisnya sambil menatap anak kecil itu.

"Hai sayang, sedang bermain sama siapa?" Tanyanya berbasa-basi, salah satu tangannya meremas ujung pakaian yang dikenakan.

Merasa terpanggil, Endaru mengalihkan tatapannya.

"Bibi Dalilah. Aku bermain sendiri-- eumm tidak, ini bersama kupu-kupu ku." Tangannya terdorong ke depan, memperlihatkan hewan yang berhasil ia tangkap.

Dalilah mengangguk-anggukan kepalanya.

"Sendiri ya? lalu siapa yang bantu Ndaru menangkap kupu-kupu tadi."

Mata polosnya membola terkejut, Endaru tak lagi mendongak menatap Dalilah. Anak itu memilin plastik yang ia bawa, menatap takut-takut pada tanah dibawahnya. Sedangkan Dalilah terkekeh pelan membuat Endaru refleks kembali menatapnya, perempuan dewasa itu mensejajarkan lututnya dengan tanah sehingga tingginya sama dengan Endaru.

"Tidak perlu sungkan, Bibi bisa melihat temanmu."

Dalilah menunjuk sudut halaman yang dipenuhi tanaman, matanya menajam sekilas.

"Disana kan?"

Endaru mengikuti arah telunjuk Dalilah, sejenak anak itu membulatkan matanya lalu kembali menunduk lagi.

Apakah Dalilah akan mengatai dirinya aneh, dan kenapa Bibinya bisa melihat temannya itu?

"Bibi Dalilah bisa melihat temanku?" Tanya Endaru takut-takut.

Dalilah mengusap puncak kepala Endaru dengan pelan.

"Tenang saja, Bibi tidak akan marah seperti Mama mu. Bahkan jika Ndaru mau, Bibi bisa jadi teman Ndaru juga."

"Bibi serius?" Endaru mengerjapkan matanya dengan berbinar.

Dalilah menyeringai.

"Tentu saja! Bahkan Bibi punya banyak teman untuk dikenalkan sama Ndaru, apa kamu mau Bibi kenalkan sama mereka?"

Sesaat Endaru berpikir dan menatap sudut halaman, menatap dengan ragu kearah sana. Tapi apa yang ia lihat tidak sejalan dengan keinginannya, temannya itu menggelengkan kepala seolah memberi isyarat untuk anak laki-laki itu.

"Jangan hirauhkan dia. Temanmu cuma satu itu kan? Bibi malahan punya banyak teman kecil, Ndaru mau ya."

"Tapi--"

Masih menatap tempat tadi, ia melihat temannya semakin menjauh.

"Nah kan, temanmu sekarang menjauh. Dia tidak mau berteman denganmu lagi, sekarang Ndaru sama Bibi aja ya."

Mau tak mau Ndaru mengangguk mengiyakan, berharap mempunyai banyak teman seperti apa yang dijanjikan Dalilah. Keduanya melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah, semakin Ndaru merasakan jika teman pertamanya juga ikut menjauh darinya. Menengok untuk terakhir kali, ia mendapati temannya sedang menatapnya lesuh.

Dalilah memegang erat pergelangan Endaru, bibirnya menyeringai dengan tatapan mengarah ke depan.

---

"Saga, kamu melihat Ndaru?"

Sedari tadi Ibu hamil itu mencari-cari anak sulungnya, Endaru tidak ada dikamar mereka, bahkan di halaman rumah pun sudah tak terlihat.

"Halaman depan."

Ika mengernyitkan dahi. "Tidak ada, baru saja aku kesana."

Saga menyudahi acara menata pakaian, ditutupnya pintu lemari lalu membalikkan badan.

"Mungkin ia sedang bermain bersama temannya, biarkan saja."

"Teman, teman siapa? Ndaru tidak punya teman disini."

Saga menaikkan salah satu alisnya.

"Maksudku, siapa tahu jika Ndaru baru mengenal anak-anak disini. Bisa saja mereka bermain bersama."

Menangkup kedua pipi istrinya, Saga tersenyum lembut.

"Jangan khawatir, Ndaru anak pintar."

Kata-kata penenang Saga tidak terlalu berefek padanya, malahan ia semakin takut jika keluarga suaminya merencanakan hal buruk pada anaknya.

Oh tuhan. Seharusnya ia tidak berpikir buruk, tapi entahlah hatinya merasa perlu waspada.

Sejak salah satu warga memberitahu mengenai keluarga Mbokde, saat itulah Ika merasa perlu waspada. Beberapa bulan lalu ia sempat bersitatap dengan warga disini, mereka menatap Ika dengan pandangan benci.

Satu warga yang baik hati mendekatinya, menjelaskan perihal perlakuan tak mengenakkan yang dirinya terima.

Fakta yang membuat Ika antara percaya dan tidak percaya. Bahkan muncul setitik keraguan pada suaminya, namun buru-buru Ika menepisnya.

Saga berbeda dengan keluarganya, begitulah mantera yang selalu ia rapalkan setiap kali berurusan dengan Mbokde sekeluarga.

"Kamu sudah makan?"

Ika menggeleng.

"Ayo kita ke dapur, kasihan dedek nya kalo Mamanya belum makan. Ah ya, aku akan membuatkan susu juga."

Ika menatap Saga dengan diam.

"Ayo, sayangku." Saga mengerjakan matanya dengan gaya imut, menarik pelan pergelangan tangan istrinya.

Mau tak mau ia tersenyum tipis, rayuan suaminya memang sangat manjur.

Jauh di lubuk hatinya, ia masih mengkhawatirkan anaknya. Kemana Endaru pergi, anak itu tidak tahu seluk beluk desa ini, bagaimana jika Endaru tersesat?

Ia bertekad setelah acara makannya kali ini, mau tak mau ia harus mencari Endaru. Jika pun Saga melarangnya, Ika akan tetap bersikukuh.

Keselamatan Endaru adalah nyawa baginya. Feeling seorang Ibu tak ada tandingannya.

(Bersambung)
Pembaca yang baik hati, tolong tekan bintang dan beri komentar membangunnya ya. Terimakasih..

MAKHLUK PENJAGA ANAKKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang