6

9.1K 418 12
                                    

Sudah terhitung sejak Jum’at sore mereka ada di desa Mbokde, Saga yang merupakan pegawai kantor pemerintahan mendapat libur selama dua hari; Sabtu dan Minggu.  Ika merasa ada sesuatu yang keluarga Saga sembunyikan, ia merasa tak aman berada ditempat ini. Jujur saja, ia memang sudah memiliki feeling buruk sedari dulu. 

Mbokde sekeluarga sangatlah misterius, apalagi ketika awal-awal ia diperkenalkan Saga kepada keluarga Mbokde. Dirumah ini banyak sesajen berserakan, ada yang berada di halaman rumah, dapur, serta ruang tamu. Tapi, semakin Ika dan Saga berkunjung kemari, barang-barang itu sudah jarang terlihat, namun kadang kala Ika masih mendapati aroma bunga kantil dan melati yang menusuk hidungnya.

Selama hampir delapan tahun usia pernikahan mereka, Ika hanya mengenal Mbokde sebagai keluarga suaminya. Entahlah, bahkan untuk makam mertuanya— Ibu dan Ayahnya Saga pun Ika tak pernah diberi tahu. Padahal ia ingin sekali berziarah ke makam mertuanya.

Menghela napas kasar, kini dirinya sedang duduk di teras depan rumah bagian barat. Joglo ini cukup luas memanjang, halaman depan pun banyak bunga-bungaan serta pohon manga yang menjadikan lebih adem. 

“Mama…” Sebuah suara menginterupsi Ika dari lamunannya.

Endaru berdiri disamping kursi yang Ika duduki, anak laki-laki itu memilin jemarinya dengan gugup.

“Ya, sayang. Ada apa?”    

Ika merubah posisi duduknya, kini ia menyamping menatap Endaru sepenuhnya.

Endaru masih diam, anak itu ragu-ragu ingin mengutarakan keinginannya. Takut jika Ika marah atau melarangnya, tapi ia juga sudah membuat janji dengan teman-teman kecilnya.

“Ndaru…?” 

“Eumm Ma.. Ndaru mau main sama teman-teman, boleh?”

Endaru mulai memberanikan diri berkata pada Mamanya.

Ika menautkan alisnya, jika yang dimaksud oleh Endaru adalah teman hayalan, maka Ika tidak akan membiarkan anaknya bertingkah aneh-aneh lagi.

Ika menarik napas dalam-dalam, menatap anaknya yang menunduk takut.

“Siapa teman Ndaru? Dimana rumahnya, Mama akan antar Ndaru kesana.” 

Mendengar ucapan sang Mama sontak membuat nyali Endaru makin menciut, bagaimana bisa ia memberitahu siapa teman-temannya, mereka hanya bisa dilihat oleh Endaru dan Dalilah seorang.

“Mama.. Mama tidak perlu mengantar Ndaru, aku bisa pergi sendiri.”

Sebisa mungkin Endaru membujuk sang Mama. 

“Sendiri? Memangnya kamu tahu jalanan desa ini, kamu bisa tersesat sayang.” Ika mencoba menahan diri.

“Ndaru sama Bibi Dalilah, Ma.” 

Rahang Ika mengetat, ia sangat sensitif mendengar nama itu.

“Tidak boleh! Ndaru dirumah saja, main di halaman depan saja.” Ujar Ika sembari menatap halaman yang dipenuhi tanaman bunga.

“T-tapi Ma.. teman Ndaru pasti sudah nunggu.”

Ika berdiri dari duduknya, ia menatap tajam anak sulungnya.

“Kamu sudah berani membantah Mama? Kalau Mama tidak mengizinkan, itu berarti kamu tidak boleh pergi.”

Nada suaranya naik satu oktaf, emosi yang sudah Ika tahan akhirnya melebur juga.

Sedangkan Endaru mulai bergetar ketakutan, baru kali ini sang Mama memarahinya dengan nada keras seperti itu. Netra Ika mulai berkabut, dalam hatinya ia juga tak ingin memarahi sang anak. Namun, ini semua demi keselamatan anaknya.

MAKHLUK PENJAGA ANAKKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang