4

10.1K 463 23
                                    

Ada yang nungguin cerita ini di Wattpad?

Kalau gak ada bakal aku pindahin ke lapak sebelah, entah ku tarik/berhenti sampe part ini dan yg selanjutnya di transmigrasi

...

Kala corak oranye sisa matahari pergi, senja yang dinantikan orang sebagai kalimat manis untuk orang-orang tercinta. Kini malam mulai menggelayut sepi, hening... Angin seakan berbisik pelan, menerbangkan rambut-rambut seseorang.

Diruang keluarga berdiri sosok perempuan yang mondar-mandir gelisah, tinggal lima menit tersisa sebelum ia benar-benar beranjak dari tempatnya. Menggigiti kuku sembari menatap jam tangan yang melingkar dipergelangan tangannya. Ia adalah Ika, Ibu yang sedang khawatir menunggu putranya yang bermain entah kemana.

Saga berkata pada istrinya, tunggu sebentar lagi sampai matahari benar-benar tenggelam dan menyisakan awan hitam kelam. Ika hanya mengangguk tatkala suaminya memerintah demikian, sebenarnya ia tak habis pikir dengan jalan pikiran suaminya.

Saga seolah tak merasa cemas dengan ini semua, tapi segera ditepis tatkala Saga memang percaya pada anaknya, Endaru anak pintar dan baik. Anak itu pasti akan pulang sebentar lagi, jikapun bermain maka tidak akan jauh dari rumah Mbokde sekarang.

Kini Ibu hamil itu sudah berpindah posisi, yang tadinya berdiri maka sekarang ini duduk dikursi kayu. Rumah terasa sepi ketika menjelang maghrib, Mbokde sekeluarga seakan menghilang sementara. Rumah mereka cukup luas, dari ujung barat sampai timur. Rumah bergaya joglo yang memanjang ke samping, Ika tinggal ditepian barat, sedangkan Mbokde dan anak-anaknya dibagian timur.

Ika cukup lega, karena jarak ini mampu membuatnya jarang berpapasan dengan Dalilah dan Arimbi. Kedua anak Mbokde berjenis perempuan, satu hal yang masih ia ragukan. Ada pemuda berusia sekitar delapan belas tahun yang juga tinggal dibelakang rumah, tepatnya adalah gubuk reot yang bersandingan dengan lumbung padi. Ia hanya beberapa kali bertemu dengan pemuda itu, ketika ia bertanya pada suaminya, Saga berkata bahwa itu juga anggota keluarganya.

"Time's up!" Gumam Ika pelan, seraya berdiri dengan kesusahan karena perut yang membuncit.

Memikirkan keanehan yang ada membuatnya tak terasa bahwa lima menit sudah berlalu, ia akan mencari Endaru sekarang.

Saat melangkahkan kaki keluar dari pintu, disana dua orang berbeda usia melangkahkan kaki masuk ke teras.

Dalilah dan Endaru saling bergandengan tangan, tak lupa ada tawa kecil disana. Saat mata mereka beradu dengan Ika, sontak senyuman itu luntur bersamaan. Tatapan kedua perempuan itu saling terkunci tanpa sengaja, Dalilah buru-buru mengalihkan pandangan.

Mereka sudah sampai tepat dihadapan Ika yang masih menatap datar keduanya. Dalilah memilih membelokkan dirinya untuk masuk melewati pintu lainnya, sedangkan Endaru berhenti melangkah dan menatap ke bawah ragu-ragu.

Rencana tinggal rencana, Endaru sudah pulang sebelum Mamanya mencari anak itu. Hela napas lega terbit dari bibir pucatny, Ika mendekati anaknya dengan raut cemas. Meneliti dari atas hingga bawah, memastikan bahwa tidak ada luka sedikitpun pada tubuh anaknya.

"Kamu darimana sayang?"

Ika berusaha menormalkan suaranya agar tak terdengar membentak, sungguh ia tidak suka ketika Endaru tersenyum bersama Dalilah.

Hati kecilnya berkata bahwa Dalilah mempunyai hal-hal yang buruk yang ditujukan pada anaknya, tapi Ika belum bisa mencari bukti untuk memperyakin dugaannya. Salah-salah malah ia terantuk di lubang yang digalinya sendiri.

Endaru memilin jemarinya, lalu tiba-tiba memeluk tubuh Mamanya walau sebatas perut buncit itu.

"Bibi Dalilah tadi ngajak Ndaru jalan-jalan, Ma."

Endaru masih memeluk Mamanya, anak itu takut jika orang yang sangat ia sayangi marah padanya.

Ika mengernyitkan dahi. "Kemana?"

Melepaskan pelukan mereka, seketika Endaru terkikik pelan sontak membuat Ika merinding.

"Ketemu sama teman-teman baru, main sama mereka dan nangkap kupu-kupu."

"Teman baru?"

Endaru mengangguk. "Bibi Dalilah ngenalin Ndaru sama mereka, teman Ndaru banyak banget sekarang."

"Dimana tempatnya, sayang?" Tanya Ibu hamil itu dengan hati-hati, ia mengusap tangannya yang terasa dingin.

Endaru menunjuk kearah jalanan yang beraspal rusak.

"Lewat sana, terus sana... Pokoknya jauh dan rahasia." Ujar Endaru sambil menunjuk arah sesuka hatinya, lalu menggerakkan jemari telunjuk ke kanan dan kiri.

"Mama tidak boleh tau ya?" Ika coba memancing Endaru yang polos.

"Eumm, tidak! kalau Mama tau nanti teman-teman Ndaru malu, mereka sukanya bersembunyi."

Ekspresi wajahnya dibuat memelas.

"Yahh kenapa begitu, Mama kan juga mau kenalan."

Endaru mengetuk pelan dagunya, berlagak sedang berpikir keras yang jatuhnya terkesan imut dan menggemaskan. Mau tak mau Ika menjadi semakin tidak tega jika memarahi putra sulungnya.

"Nanti deh Ndaru tanyakan sama Bibi Dalilah. Bibi baik, dia juga bilang kalau sebenarnya mau berteman dengan Mama, tapi tidak berani karena Mama galak sama Bibi."

Sontak Ika membulatkan matanya, drama apa yang dibuat Dalilah pada putranya. Tidak akan ia biarkan Endaru dicuci otaknya, Ika harus mengambil langkah tegas.

Merasa tak akan menghasilkan apa-apa lagi dari pembicaraan ini, Ika menggandeng tangan anaknya untuk masuk ke dalam rumah karena hawa semakin dingin dan mencekam.

"Ayo masuk ke rumah, besok-besok kalau mau main harus izin ke Mama. Mama khawatir dan mau nyari kamu tadi, jangan diulangi ya!"

Endaru mengangguk mengiyakan, dalam hati bersyukur karena Mamanya tidak marah kali ini. Tapi entah bagaimana esok, anak itu tidak berani berkata-kata pada Mamanya. Takut karena teman-teman barunya akan menghilang dan juga karena Dalilah sudah berpesan padanya.

Saat keduanya berbalik, mereka dikejutkan dengan pemuda yang sedang meneteskan air liurnya tepat dihadapan Ika. Terkejut dan mengelus dadanya pelan, Ika coba memaklumi orang itu.

Antareja-- yang entah berstatus apa dikeluarga Mbokde, pemuda itu menderita down syndrome ketika dilahirkan. Itu membuatnya seperti diasingkan dari sekitar, Ika menatap itu yang seakan ingin mengajaknya bicara.

Tarikan pelan ditangannya membuat Ika seolah tersadar, Endaru semakin merapatkan tubuhnya pada sang Mama. Dari yang Ika tahu, Endaru cukup takut dengan pemuda ini.

"Ma, Ayo pergi."

"E-eh iya sayang." Ika menundukkan kepalanya, isyarat bahwa ia harus pergi dan sebagai formalitas.

Pemuda itu menghela napas kasar, ia menggerakkan kepalanya dengan asal. Lalu sebuah tangan menariknya dengan cepat, ia akan berusaha meronta namun gagal.

Baru beberapa langkah Ika seakan teringat sesuatu, darimana dan kapan pemuda itu bisa memasuki rumah bagian barat ini. Saat berbalik, ternyata Antareja sudah tidak ada ditempatnya.

"Lho, cepat sekali perginya."

Endaru mendongak menatap Mamanya.

"Ada apa, Ma?"

"Tidak ada, sayang." Ika menggeleng pelan seraya tersenyum hangat.

(Bersambung)
Pembaca yang baik hati, tolong tekan bintang dan beri komentar membangunnya ya. Terimakasih..

MAKHLUK PENJAGA ANAKKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang