1

14.1K 610 5
                                    

"Ndaru, tolong ambilkan piring di rak." Ucap Ika dengan suara agak nyaring, saat ini ia sedang menyiapkan bakso yang di beli dari pedagang gerobakan disekitar rumahnya.

Ndaru keluar dari dapur membawa dua piring beserta sendoknya, ia mendekati Mamanya.

"Wah, Mama beli bakso. Buat Ndaru satu ya?"

Ika mengangguk pelan. "Iya, satunya memang buat kamu sayang."

"Asyik, makasih Mama." Ndaru mencium pipi Ika sekilas, lalu setelahnya berdiri dari sofa ruang tamu membawa piring beserta baksonya.

Ika yang melihat itu segera memanggil anaknya. "Ndaru mau kemana? Makan disini aja bareng Mama."

Ndaru berbalik sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, anak itu ragu akan mengucapkan alasannya.

"Ndaru..?" Ika mengulang nama panggilan anaknya.

"Emm Ma, Ndaru harus ke kamar. Disana ada temen Ndaru lagi nungguin, nanti aku balik kesini lagi kok."

Ika hanya diam mengamati ekspresi sang anak, Ndaru kecil menunggu ragu-ragu dengan jawaban yang akan Ika lontarkan. Melihat itu, Ika jadi tidak tega jika harus memarahi anak sulungnya.

Ia hanya mengangguk pasrah, membiarkan sang anak bergelora dengan imajinasinya.

Endaru tersenyum bahagia ketika tahu bahwa sang Mama tidak marah, tapi dihati yang terdalam, Ika merasakan khawatir yang luar biasa. Ada apa dengan putranya? Kenapa jadi seperti ini?

Bakso yang tadinya menjadi candu ngidam akhirnya teronggok sia-sia, Ika memandang kosong ruang dihadapannya. Ia merasa telah gagal menjadi seorang Ibu, atau memang ada yang aneh pada anaknya?

"Awhh." Lagi, kontraksi palsu sering Ika alami akhir-akhir ini.

Menghela napas lelah, Ika menatap langit-langit ruang tamu. Pikirannya berkelana di masa muda, masa-masa sebelum ia mengenal suaminya dan berakhir menjadi istrinya.

Kala itu, ia yang masih duduk di bangku kuliah yang hampir setiap hari ia laju. Karena jarak dari rumah ke kampusnya masih berada di kota yang sama, Ika menggunakan motor tuanya untuk mengarungi jalanan. Hingga saat ia menjadi mahasiswa tingkat akhir, ia berkenalan dengan Saga.

Pria yang telah berhasil mencuri hatinya itu bekerja disalah satu kantor kedinasan, Saga yang saat itu berprofesi sebagai seorang akuntan kantor kedinasan kota mulai masuk ke kehidupannya melalui pendekatan-pendekatan secara perlahan.

Ika tidak tahu pasti darimana Saga mengenalnya, tapi yang pasti ia merasa terpikat semakin hari pada pria itu. Sempat ia berpikir, apakah ia di pelet? Ika terkikik geli, bukan.

Ika murni mencintai pria itu karena setiap kali melakukan PDKT, ia dibuat menjadi terpesona dan terkagum-kagum.

Tidak memakai waktu lama, Ika akhirnya lulus dari kampusnya. Ia mencoba peruntungan disebuah jasa penyedia transportasi umum, syukur saja saat itu ia langsung diterima bagian ticketing sebuah stasiun kereta. Singkat cerita, Saga meminta izin pada orangtua Ika untuk meminang gadis itu, semuanya berjalan dengan baik karena kedua orangtua Ika menyetujui hubungan mereka.

Sejalan dengan itu, Saga pun tidak melarang Ika untuk menjadi wanita karir. Ia tahu bahwa itu adalah cita-cita istrinya, dan Ika pun juga sadar diri dengan tidak mengabaikan tugas dan kewajiban seorang istri maupun ibu rumah tangga.

Tapi, ada satu hal yang masih mengganjal di hatinya. Yaitu mengenai keluarga dan asal-usul suaminya, hingga bertahun-tahun menikah pun ia masih dibuat bingung.

Pasalnya, hingga saat ini Ika hanya mengenal satu dua orang yang mengaku sebagai keluarga besar suaminya. Mengenai mertua, Saga sudah menjelaskan jika orangtuanya meninggal ketika ia berusia belasan tahun. Ketika resepsi pernikahan pun Saga hanya mengundang satu keluarga yang masih dikenal sampai saat ini, satu keluarga itu juga terlihat pendiam dan errr kurang ramah padanya.

Sudah berulang kali Ika mencoba mendekatkan diri pada keluarga suaminya, tapi nihil. Bahkan beberapa kali ia mendapatkan eskpresi muka yang kurang mengenakkan, ataupun dengusan sebal yang membuat ususnya harus ekstra sabar dan sabar.

Ia akui bahwa keluarga besar Saga sangat misterius, selama ini mereka hanya berkumpul dan dekat dengan keluarga Ika saja. Aneh memang, tapi Ika tidak mau mengulik lebih dalam karena suaminya tidak akan menjawab apapun pertanyaan yang ia lontarkan mengenai keluarga.

"Ma.." Sebuah suara menginterupsi kegiatannya, Ika menoleh mendapati Endaru sedang berjalan kearahnya.

"Ya sayang?"

Endaru duduk disamping Ika, ia menyendokkan bulatan daging ke mulutnya.

"Nanti sore dirumah aja ya, soalnya akan ada hujan badai yang mengerikan."

Ika menatap anaknya dengan kerutan wajah yang sangat jelas. "Maksudnya bagaimana sayang? Ramalan cuaca di hp biasanya salah."

Endaru menggeleng. "Bukan ma, bukan dari ramalan cuaca hp."

"Lalu?" Tanya Ika lagi.

"Tadi ngeliat bayangan di pikiran Ndaru kalau nanti sore hujan lebat."

Anak itu masih asyik mengunyah makanannya, sedangkan ia menelan ludahnya kasar. Tidak mungkin kan anaknya menjadi peramal sekarang?

"Ndaru kok bisa tahu? Emm.. maksud Mama, kamu bisa dapet penglihatan seperti itu darimana?"

Ndaru hanya mengangkat pundaknya, Ika hanya terdiam lagi dan lagi. Anaknya benar-benar diluar nalar, ia harus memperhatikan Ndaru lebih baik lagi.

--MPA--

Sore itu memang turun hujan yang lebat, angin-angin bertiup dari arah utara ke selatan. Tidak dipungkiri, membuat orang-orang ingin berada dirumah bersama selimut tebalnya.

"Ma, besok kerumah Mbokde ya. Aku sudah lama tidak menemui beliau, kamu sama Ndaru ikut juga."

Mbokde.. julukan kakak dari mendiang Ibu Saga, ia sudah menganggapnya sama seperti Ibu kandung.

Ika masih diam, karena ia memang tidak terlalu dekat dengan keluarga suaminya. Ah bukan! Bukan dia yang tidak dekat, namun keluarga suaminya yang memang tidak ingin di dekati oleh Ika.

"Kalau aku tidak ikut, bagaimana?" Ika menyuarakan pertanyaannya dengan hati-hati, takut jika menyinggung perasaan suaminya.

Saga berbalik memeluk dirinya. "Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan ketika masih ada aku, aku akan selalu melindungi dirimu."

Kata-kata penenang sesaat dari Saga membuat dirinya merasa kesal.

"Kamu tidak tahu bagaimana perasaanku Saga, mereka tidak menyukai ku sedari awal. Aku sudah mencoba menjadi orang baik, menjadi orang ramah. Tapi kenyataannya apa? Mereka mengabaikanku, mereka mengganggapku tidak ada."

Satu bulir air mata jatuh dipipi, Ika sudah meluapkan emosinya saat ini. Masih dengan posisi yang sama, Saga mempererat pelukannya untuk menenangkan sang istri.

"Ya sayang, maafkan keluarga ku. Aku mengerti perasaanmu, mereka memang bersifat seperti itu pada orang asing. Tidak hanya kamu, beberapa orang lain pun akan melakukan hal yang sama sepertimu."

Ika melepaskan pelukan suaminya, ia berjalan ke arah ranjang dan duduk disana.

"Baiklah jika kamu tidak ingin ikut, aku dan Ndaru saja yang pergi ya." Nada suara Saga selalu halus ditelinga Ika.

Sesaat perempuan itu terdiam, Endaru? Tidak, ia tidak akan membiarkan anak sulungnya pergi tanpa pengawasannya.

Karena apa? Keluarga Saga selalu mendoktrin Endaru dengan hal-hal berbau aneh dan mistis. Ia tidak mau jika anaknya semakin berlaku diluar nalar, ia harus menjaga anaknya.

"Apakah Ndaru harus ikut? Bagaimana kalau kamu saja yang pergi, aku dan Ndaru tinggal dirumah."

Saga menggeleng. "Justru yang Mbokde rindukan adalah Ndaru, cucunya."

Ck! Benarkan.

"Baiklah kalau begitu, aku akan ikut denganmu. Jangan biarkan aku sendirian menghadapi tatapan tajam dari keluargamu, aku tidak suka."

Saga terkekeh geli, mengusap puncak kepala istrinya dengan sayang.

"Tidak akan, kita akan menghadapi bersama."

(Bersambung)
Pembaca yang baik hati, tolong tekan bintang dan beri komentar membangunnya ya. Terimakasih..

MAKHLUK PENJAGA ANAKKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang