#10
Aku menatap Shoji. Sangat sukar melihat wajahnya saat suasana yang mulai remang-remang seperti ini, tapi kurasa ia tak mendengarnya.
Dapatkah kalian mendengarnya? Apa hanya aku yang bisa? Ataukah ini hanya imajinasiku saja?
Pikiranku berkecamuk. Mengetahui betapa gugupnya aku, Shoji mulai melihat sekeliling. Sangat susah untuk kembali tenang ketika kami mulai merasa takut seperti ini.
Mata Shoji tiba-tiba terfokus pada suatu titik. Ia melihat tepat ke arah belakangku. Matanya tiba-tiba membelalak.
Takumi juga menyadari hal ini. Ia mencoba melihat ke arah yang sedang dilihat Shoji, nampaknya ia tak melihat apapun.
Aku terlalu takut untuk menoleh.
Namun aku masih mendengar suara napas itu. Aku bahkan bisa mengatakan suara itu berasal dari belakangku. Ia sama sekali tak bergerak, hanya bernapas.
“Huuuh ... huuuh ...."
Aku semakin membeku ketika menyadari ada suara lain dari luar. Seperti suara sesuatu sedang diseret di tanah di luar kuil. Takumi menyadarinya dan langsung mengenggam tanganku.
Apa pun itu, ia hanya berjalan mengelilingi kuil. Dan suara lain yang belum pernah kudengar sebelumnya mengikutinya.
“Kyu-ai ... Kyu-ai ....”
Walaupun tak dapat melihatnya, tapi aku tahu suara itu secara perlahan bergerak mengelilingi kuil ini.
Aku bisa merasakan detak jantung Takumi. Aku tak tahu apakah Shoji mendengarnya juga, tapi ia tampak sangat tegang.
Tak ada dari kami bergerak sedikitpun.
Aku menutup mataku dan mencoba menutup telingaku. Aku hanya ingin melarikan diri dari rasa takut ini dan dalam hati berdoa agar “sesuatu” itu segera lenyap. Aku tak tahu berapa lama waktu berjalan, rasanya seperti lama sekali. Ketika aku membuka mataku dan melihat ke sekeliling, suasana dalam kuil gelap gulita dan aku tak mampu melihat apa pun.
Namun suara itu telah berhenti.
Aku tak bisa mengetahui apakah ia sudah benar-benar pergi ataukah ia masih menunggu di luar, jadi aku tetap mencoba tak bergerak sedikitpun. Namun kegelapan hanya membuat suasana malam ini semakin menyeramkan.
Tak peduli berapa lama aku mencoba membiasakan mataku, aku tetap tak bisa melihat apapun. Aku bahkan tak tahu apakah Takumi dan Shoji baik-baik atau tidak. Namun Takumi masih mengenggam tanganku dengan erat, jadi paling tidak aku tahu ia masih ada di sini.
Aku mulai mengkhawatirkan Shoji. Tadi jelas-jelas ia melihat sesuatu yang membuatnya ketakutan setengah mati. Aku mencoba mencarinya dalam kegelapan, tapi aku tak bisa melihat apapun.
Aku menarik tangan Takumi, mengajaknya berjalan pelan menuju tempat di mana aku terakhir melihat Shoji. Aku bergerak sepelan mungkin agar tidak menimbulkan suara.
Suasana sangat gelap saat itu. Jika salah satu dari kami panik dan menjerit, maka selesailah sudah.
Aku kemudian meluruskan tangan kananku, mencoba meraih Shoji di mana ia tadi berada. Tanganku meraih sesuatu yang keras dan dingin, hampir membuatku melompat ketakutan. Namun kurasa itu hanya dinding.
Aneh. Shoji tadi ada di sini, sekarang ia tak ada.
Aku semakin cemas. Aku mulai berjalan menyusuri dinding hingga aku mencapai sisi lain ruangan itu.
Kami kehilangan dia. Aku ingin menangis dan berteriak, “Di mana kamu Shoji?” Tapi itu tak mungkin. Aku tak tahu lagi harus bagaimana, jadi aku hanya diam di sana. Takumi tiba-tiba bergerak dan gantian mengarahkanku ke tempat lain.
Pertama, ia mengajakku kembali menyusuri dinding dan kemudian berputar di pojok ruangan. Tiba-tiba saja ia berhenti dan menarik tanganku ke bawah. Aku menyentuh sesuatu yang hangat.
Itu terasa seperti tubuh seseorang yang sedang gemetar. Akhirnya kami menemukan Shoji.
Apa ini benar dia, pikirku. Kemudian aku juga mulai meragukan apa yang memegang tanganku ini benar Takumi.
Dikelilingi kegelapan yang teramat pekat, aku mencurigai segala sesuatu. Aku tetap diam dan ketika Takumi menarik tanganku lagi, aku pun mengikutinya.
Kemudian aku melihat cahaya yang amat lemah. Sinar bulan sepertinya menyusup melalui celah di dinding dan membawa sedikit penerangan di dalam kuil ini. Takumi ternyata membawa kami ke arah cahaya ini.
Ketika melihat cahaya tersebut, aku merasa seperti diselamatkan. Setelah semua pengalaman ini selesai, aku sempat berterima kasih pada Takumi atas tindakannya itu dan inilah jawabannya.
“Aku tak melihat ataupun mendengar apapun. Aku memang mendengar ada suara seperti sesuatu diseret di luar. Karena itu, aku merasa lebih mampu melakukan sesuatu untuk kalian, sebab sepertinya hanya aku yang tak bisa merasakan keberadaan makhluk itu saat itu.” Dan sejak mendengar jawabannya itu, aku merasa lebih menaruh hormat kepadanya.
Akhirnya di bawah cahaya rembulan, aku bisa melihat wajah Takumi dan Shoji ditutupi keringat dan air mata. Aku penasaran apakah mereka melihat atau mendengar sesuatu, tentu saja saat itu aku tak bisa bertanya pada mereka.
Malam ini terasa sangat senyap. Kami hanya mendengar suara belalang bersahutan dari kejauhan.
Kami duduk melingkar sambil berpegangan tangan. Kami merasa lebih aman dalam posisi ini. Selain itu, kami bisa melihat wajah kami satu sama lain. Entah mengapa, ini membuat kami merasa lebih tenang.
Beberapa saat kemudian, hal yang tak dapat dihindarkan pun terjadi.
Takumi mengambil kantong yang diberikan sang biksu kepada kami kemudian pergi sejenak dari kami untuk melakukan urusannya.
Ruangan itu sangat sunyi, kecuali suara tetesan urine Takumi saat ia kencing. Suara itu bagi kami sangat konyol sehingga aku dan Shoji tersenyum.
Dan saat itulah suara itu muncul.
“Shoji!”
TO BE CONTINUED
KAMU SEDANG MEMBACA
Creepypasta (Mix & Original)
Mystery / ThrillerSuka baca bacaan ringan tapi bikin bulu kuduk bediri? Kamu menemukan bacaan yang tepat! Rasakan sensasi ngeri sekaligus penasaran dalam cerita ini. Beberapa cerita bukan murni buatan saya. Sebisa mungkin akan saya cantumkan sumbernya. Selamat Mem...