Resort

135 13 0
                                    

#12

Akhirnya aku melihat wajahnya secara langsung.

Wajahnya tampak hitam pekat. Hanya terlihat matanya yang cekung, panjang, dan seluruhnya berwarna putih.

Ia sedang menatap kami.

Dan kemudian aku menyadari bahwa aku salah.

Kupikir suara hantaman tadi berasal dari tubuhnya yang dihantam-hantamkan ke dinding kuil. Namun ternyata tidak. Justru ia sedang menghantam-hantamkan kepalanya sendiri sembari bergerak.

Wajahnya menghilang dari retakan itu dan ia terlihat seakan sedang membungkuk, dan tiba-tiba ....

“BANG!”

Ia menghantamkan kepalanya ke dinding dengan tenaga tak terbayangkan. Aku bahkan tak bisa melepaskan mataku dari dinding itu. Aku mulai gemetar, terlebih karena aku telah melihat wujud aslinya. Ia terus berbicara dengan nada yang sama sambil menghantamkan kepalanya. Ia jelas-jelas bukan manusia.

Setelah ia menghantamkan kepalanya dengan keras tadi, ia terus berjalan mengelilingi kuil. Mungkin untuk mencari jalan masuk yang lain. Walaupun aku tak bisa lagi melihatnya, tapi wajah mengerikan yang mengintip tadi masih saja terpatri dalam pikirkanku. Ketika ia menghantamkan kepalanya lagi, aku bisa melihat wajahnya dengan jelas dalam benakku.

Sejujurnya, aku tak tahu sudah berapa lama ia berada di sana. Bahkan pada titik ini, aku tak bisa lagi membedakan antara kenyataan dan khayalanku. Kami merasa ia sudah meninggalkan kami, tapi kami tetap diam membeku. Shoji juga terlalu takut untuk bergerak. Bahkan kemudian kusadari bahwa giginya bergemeretak dengan sangat kencang hingga gusinya berdarah.

Aku tak sempat melihat ekspresi Takumi,  tapi dari apa yang ia ceritakan padaku setelah semua pengalaman ini usai, ia mendengar suara seperti kaokan burung gagak. Hanya Takumi yang bisa mendengarnya saat itu.

Terdengar suara seretan seolah makhluk itu bergerak menjauh dari kuil. Dengan perlahan, Takumi membawa kami kembali ke retakan itu, di mana cahaya rembulan bisa masuk ke dalam kuil. Makhluk itu telah menghilang, tapi kami masih tetap tak bisa menenangkan diri kami. Kami terlalu khawatir bahwa ia mungkin akan kembali. Kami semua melalui malam dengan bersila dan kepala menunduk.

Malam itu adalah malam terpanjang dalam hidup kami. Kami sudah kelelahan dan menyaksikan sesuatu yang bukan berasal dari dunia ini. Bahkan, tiap detail apa yang terjadi malam itu mampu kuingat hingga sekarang.

Biksu itu melarang kami tertidur malam ini. Dan tanpa larangannya pun, mustahil kami bisa tidur saat itu. Kami terus berjaga hingga akhirnya matahari terbit dan sinarnya menyentuh kepala kami melalui celah-celah di dinding kayu kuil. Suara ayam berkokok dan orang-orang yang memulai hari mereka terdengar dari kejauhan.

Kami semua mendongak dan menatap satu sama lain.

Hanya satu pertanyaan yang berkecamuk dalam hati kami.

Apa semuanya sudah selesai?

Kami mendengar suara langkah kaki mendekati kuil. Kami hanya bisa terdiam di lantai, terlalu kelelahan untuk bangkit. Suara itu berjalan mengitari kuil lalu berhenti di pintu depan.

Aku menahan napas ketika pintu kuil digeser dan cahaya matahari mulai merangkak memasuki kuil, menerangi tiap sudutnya.

Sang biksu tengah berdiri di depan pintu.

Ketika melihat wajahnya, kami hampir menangis.

“Kalian berhasil,” katanya.

Aku takkan pernah melupakan sorot matanya. Matanya terlihat sangat hangat dan teduh. Aku sangat takut dan lelah, hingga aku merasa ingin pingsan. Namun apa yang bisa kulakukan hanya menangis.

Sang biksu masuk ke dalam kuil dan menepuk bahu kami satu-persatu. Jubahnya menebarkan bau dupa, mengindikasikan bahwa ia sendiri mengadakan suatu upacara malam tadi, ketika kami masih berjuang di sini.

Kami masih hidup! Aku berseru pada diriku sendiri dan menangis lebih kencang. Melihat bahwa aku tak mampu berdiri, biksu tersebut memanggil seorang pria berumur paruh baya untuk membantu kami. Dengan satu tanganku melingkar pada bahu pria itu, kami berjalan kembali ke rumah di mana Ryuichi menurunkan kami.

“Shoji,” bisikku padanya. “Apa kau masih bisa melihatnya?”

Masih terdengar nada kekhawatiran dalam suaraku.

“Jangan khawatir,” katanya sambil tersenyum, “Semua sudah usai. Aku tak melihatnya lagi.”

Ketika kami berjalan melewati kuil utama, kami bertiga mendengar suara jeritan.

“Bukankah itu suara Makiko?” bisik Takumi.

Ya Tuhan! Takumi benar, itu suara Makiko. Namun saat itu, aku terlalu lelah untuk mempedulikannya. Aku hanya ingin kembali dan beristirahat. Di dalam rumah, seorang wanita menyuruh kami untuk mandi. Kemudian ia menyediakan sebuah ruangan untuk kami beristirahat. Kami tahu di sana kami aman. Kami bahkan langsung tertidur begitu tubuh kami menyentuh tatami.

Hari sudah siang ketika kami terbangun. Aku yang terakhir bangun. Bahkan saat itu, Takumi dan Shoji sudah menghubungi kedua orang tua mereka untuk mengatakan bahwa kami baik-baik saja.

Namun sebelum kami pergi, masih ada satu hal yang harus kami lakukan.

Kami harus tahu kebenarannya.

Apa sebenarnya yang datang ke kuil malam itu?

TO BE CONTINUED

Creepypasta (Mix & Original) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang