Hari berikutnya, kami menyelesaikan pekerjaan kami lebih awal dan berkumpul di pintu masuk di mana Shoji berada.
Kami menunggu Makiko-san.
Segera setelah kami berkumpul di sana, Makiko meninggalkan salah satu kamar dengan keranjang makanan. Ia membuka pintu menuju ke tangga dan menghilang ke dalamnya. Pertama akan kujelaskan, untuk menuju tangga, kami harus keluar dari pintu masuk hotel, sebab tak ada jalan menuju ke lantai dua dari dalam penginapan. Kami harus keluar terlebih dahulu dan di pojok bangunan terdapat sebuah pintu untuk menuju ke lantai atas.
Seperti yang dikatakan Shoji, dia kembali setelah sekitar 5 menit berada di atas. Makanan di atas keranjang telah lenyap. Dia kembali masuk tanpa mengetahui keberadaan kami.
“Lihat,” kata Shoji, “cepat kan?”
“Yah, kau benar.”
“Ada apa di atas sana?” tanya Takumi.
“Aku tak tahu. Apa kalian mau memeriksanya?” tanya Shoji.
“Uhm, jujur ... aku agak takut,” kata Takumi.
“Sebenarnya aku juga. Tapi bagaimana, apa kalian tak mau tahu?” desak Shoji.
“Hmm ... kurasa itu bukan ide buruk. Ayo kita kesana," kataku.
Kami bertiga segera mengendap-endap ke arah pintu tersebut.
“Apa pintunya terkunci?” Takumi bertanya dengan nada cemas. Aku berusaha menggeser pintu dan pintu pun terbuka beberapa centimeter. Shoji yang berada di sebelah kiri pintu dapat melihat bagian dalamnya.
“Ew ....” Ia melenguh dan menutup hidungnya.
“Ada apa?” tanya Takumi.
“Apa kau tidak menciumnya?”
“Mencium apa?” Takumi dan aku kebingungan.
“Serius kalian tidak menciumnya?” ujar Shoji sambil terus menutup hidungnya. “Buka pintunya lebih lebar dan kalian akan menciumnya!”
Aku mengumpulkan segenap keberanianku dan membuka pintu itu lebih lebar. Udara hangat mengalir keluar, diikuti debu yang berterbangan.
“Maksudmu debu-debu ini?”
“Hah? Aku tak menciumnya lagi ...,” ujar Shoji.
“Berhentilah mempermainkan kami!” Takumi tampak marah. “Jika kau mengerjai kami lagi, aku akan meninggalkanmu di sini!”
Takumi memang berwatak agak keras dan kasar.
“Maaf ... tapi aku tadi benar-benar menciumnya, seperti bau sampah.”
“Cukup!” seru Takumi. “Itu hanya imajinasimu!”
Aku mengintip ke dalam melalui celah pintu dan memperhatikan sesuatu.
Lorong di dalamnya sangatlah sempit. Begitu sempit hingga hanya satu orang yang bisa melaluinya. Sama sekali tak ada pencahayaan di dalam. Aku hanya bisa melihat ujung lorong karena cahaya yang masuk dari luar, dari pintu yang kami buka ini. Di ujung lorong di lantai atas, terdapat pintu lain.
“Apa kita akan naik ke atas?” tunjukku.
“Tidak! Tidak!” Takumi tampak panik, “Jangan naik ke atas!”
“Kau tak mau?” Shoji keheranan melihat Takumi panik.
“Jika kalian mau ke sana, silakan saja. Tapi aku tetap di sini!” Takumi bersikeras.
“Yah, kalau begitu aku tetap di sini saja juga,” kata Shoji.
“Ah, kalian berdua pengecut! Bukankah kalian yang mengajakku ke sini?” ujarku. “ Baiklah, kalau begitu aku yang akan naik ke atas.”
“Serius?” Mereka berdua berseru bersamaan.
“Jika aku tak pergi sekarang, aku takkan bisa tidur memikirkannya. Jika aku tak bisa tidur, maka aku akan pergi ke sini malam-malam dan itu tentunya akan lebih gawat. Jadi aku akan naik ke sana sekarang!” Alasan itu memang tak masuk akal, tapi rasa penasaran sudah telanjur menguasaiku. Selain itu ada Shoji dan Takumi di sini, jadi pasti aman.
Namun selain penasaran, aku juga merasa takut. Aku akan naik ke sana sendirian, tetapi mereka berdua telah berjanji untuk tidak lari dan memperingatkanku jika sesuatu terjadi.
Maka aku pun mulai naik ke atas.
TO BE CONTINUED
KAMU SEDANG MEMBACA
Creepypasta (Mix & Original)
Misterio / SuspensoSuka baca bacaan ringan tapi bikin bulu kuduk bediri? Kamu menemukan bacaan yang tepat! Rasakan sensasi ngeri sekaligus penasaran dalam cerita ini. Beberapa cerita bukan murni buatan saya. Sebisa mungkin akan saya cantumkan sumbernya. Selamat Mem...