#9
Terasa sangat dingin di dalam kuil. Aku khawatir dengan syarat tak boleh makan dan minum, tapi aku merasa percaya diri kami bisa bertahan untuk malam ini.
Bangunan itu sendiri sudah amat tua dan banyak celah-celah di dinding di mana papan-papan kayu bertemu. Kuil juga amat kecil.
Karena masih siang, aku masih dapat melihat wajah Takumi dan Shoji lewat cahaya yang masuk melalui celah-celah di dinding kayu. Ini pertama kalinya kami tidak saling berbicara meskipun kami berada sangat dekat satu sama lain.
Aku mengangguk untuk mengatakan, “Segalanya akan baik-baik saja.” Mereka mengangguk balik.
Setelah beberapa lama, kami berhenti saling menatap satu sama lain dan berakhir saling membelakangi. Frustrasi pada kenyataan kami tak boleh saling berbicara, waktu berjalan sangat lambat. Kami tak mengetahui berapa lama kami di sini atau jam berapa sekarang. Yang dapat kami lakukan hanya duduk di sini dan menunggu dalam kebingungan.
Kami serasa menunggu sangat lama, tapi masih terang di luar sana. Takumi mulai mengeluarkan suara. Heran dengan apa yang ia lakukan, aku menoleh untuk menyuruhnya diam. Ternyata ia memegang sebuah pena dan menghadapkan seutas kertas ke arah kami.
Ia tak mengindahkan apa yang dikatakan sang biksu dan membawa pena ke dalam. Kertas yang ia tunjukkan kepada kami adalah bungkus permen karet. Mungkin benda itu ada di sakunya selama ini.
Apa yang kau lakukan?
Aku memikirkannya beberapa saat. Biksu itu memang hanya melarang kami berbicara, bukan menulis, jadi sepertinya ini tak ada salahnya. Bagaimanapun aku merasa lega kami masih bisa berkomunikasi.
Aku membaca apa yang ditulis Takumi di kertas itu.
“Apa kalian baik-baik saja?”
Aku mengambil pena itu dan menulis sekecil mungkin,
“Aku baik-baik saja. Shoji?”
Aku memberikan kertas itu padanya dan ia menulis, “Aku baik-baik saja juga. Aku sudah tak mampu lagi melihat mereka.”
Ia kemudian mengembalikan kertas dan pena itu pada Takumi. Kami kemudian terus menggunakannya untuk berkomunikasi satu sama lain.
“Aku masih punya 4 lagi bungkus permen karet." Takumi menulis, “Semoga ini cukup. Tulislah sekecil mungkin.”
“OK.” Aku setuju. “Kita tak akan bisa melakukannya saat matahari terbenam, jadi ayo kita menulis selagi bisa.”
“Apa kalian tahu jam berapa ini?” Takumi menulis.
“Tidak.” Aku menggeleng.
“Sekitar jam lima?” Shoji menebak.
“Kita masuk ke sini sekitar jam satu,” tulis Takumi.
“Jadi kita di sini baru empat jam.” Aku menarik kesimpulan.
“Ini akan menjadi malam yang panjang.” Dengan menulis itu, Takumi menghabiskan kertas pertamanya.
“Tulisanmu terlalu besar, Yuuki,” tulisnya pada kertas berikutnya. Aku membuat gesture minta maaf dan ia memberikan pena serta kertasnya kepadaku.
“Aku lapar.” Aku menyerahkan kertas itu pada Shoji, tapi ia langsung memberikannya pada Takumi.
“Aku juga,” balas Takumi. Ini aneh, pikirku. Saat kami tidak bisa saling berbicara tadi, ada banyak hal yang ingin kusampaikan. Namun begitu kami menemukan cara untuk berkomunikasi, kami justru tak bicara banyak. Namun ada satu hal yang ingin kuungkapkan sebelum matahari terbenam.
“Apapun yang terjadi, kita akan melewati ini semua!”
“Tentu saja,” tulis Shoji.
“Bagaimana jika aku tiba-tiba ingin berteriak?” tanya Takumi.
“Sumpalkan sesuatu ke dalam mulutmu,” saranku.
“Seperti apa?” tanya Takumi.
“Aku akan menyumpalkan kaosku,” kata Shoji.
“Berharap sajalah takkan terjadi sesuatu.” Aku menulis. Namun aku sendiri meragukannya. Biksu itu memang tak mau berterus terang tentang apa sesungguhnya yang menimpa kami. Namun, ia menekankan bahwa sesuatu akan terjadi.
Dengan pikiran itu, aku berharap waktu akan segera cepat berlalu. Namun aku sangat takut, apa yang akan terjadi ketika malam tiba?
Rasa takutku ketika aku berdiri di ujung tangga di “kuil” itu kembali menyeruak. Satu-satunya yang menyelamatkanku saat itu adalah melihat teman-temanku ada di sana, menungguku.
Sedikit, aku berhasil membunuh rasa takut dengan ingatan itu, di mana teman-temanku selalu ada untukku.
Aku kembali menulis di atas kertas itu. “Kita tak punya banyak waktu lagi. Apa ada yang ingin kalian bicarakan?”
Aku hanya berharap pembicaraan sehari-hari akan sedikit menenangkan perasaan kami yang sedang kacau saat itu.
Takumi sepertinya mengerti dan mengambil kertas tersebut. “Apa yang akan kalian lakukan saat pulang nanti?”
“Pertanyaan bagus,” tulisku. “Kurasa aku akan ke rental video.”
“Kenapa ke sana?” tanya Shoji.
“Aku lupa mengembalikan DVD saat kita berangkat dulu.”
“Hah? Serius? Ini sudah hampir sebulan. Dendanya pasti sangat mahal,” balas Shoji.
“Apa itu DVD yang isinya aneh-aneh?” tanya Takumi.
Aku tersenyum. Sebenarnya itu hanya bohong belaka. Aku hanya menulis itu agar kami memiliki sesuatu untuk dibicarakan. Ini bekerja, kami merasa sedikit santai setelahnya. Baik Takumi dan Shoji kemudian menuliskan rencana-rencana mereka. Cukup untuk membuat kami merasa optimis sedikit.
Ketika kertas yang kami miliki hampir habis, Shoji menulis sesuatu yang membuatku merinding.
“Aku akan melakukan apa yang dikatakan biksu itu. Aku tak mau mati.”
Takumi dan aku saling bertatapan. Kami tak pernah menyinggung-nyinggung kata “mati” sebelumnya. Dan ini menyadarkanku bahwa nyawa kami mungkin dalam bahaya.
Aku hanya bisa mengangguk pada Shoji.
Setelah itu, matahari mulai terbenam. Aku merasakan kesepian yang sama ketika aku pertama masuk ke kuil ini. Suara jangkrik mulai bersahutan di luar. Namun aku segera menyadari ada yang ganjil.
Aku mendengarkan lebih saksama. Aku bisa mendengar sayup-sayup suatu suara yang aneh. Aku mencoba mendengar lebih baik. Dan semakin aku mencoba, aku mendengar suara itu semakin jelas dan jelas.
Itu suara napas yang kudengar di lantai dua penginapan saat itu.
TO BE CONTINUED
KAMU SEDANG MEMBACA
Creepypasta (Mix & Original)
Mistero / ThrillerSuka baca bacaan ringan tapi bikin bulu kuduk bediri? Kamu menemukan bacaan yang tepat! Rasakan sensasi ngeri sekaligus penasaran dalam cerita ini. Beberapa cerita bukan murni buatan saya. Sebisa mungkin akan saya cantumkan sumbernya. Selamat Mem...