Cerita Hantu (Ori)

170 13 1
                                    


"Apa kalian percaya hantu dan semacamnya?" George membuka percakapan dengan menatap kami satu per satu.

Aku dan Ed segera menggeleng. Di zaman serba teknologi ini, memangnya ada hal-hal seperti itu?

"Kenapa kau menanyakannya? Apa kau punya pengalaman menarik?"

Ed, yang kurasa lebih antusias dariku, tampak bersiap mendengarkan. Ia membetulkan posisi duduknya, dengan punggung menegak. Aku mendengus keras. Haruskah aku mendengar cerita itu?

Namun, setelah kupikir-pikir, menjaga gedung ini semalaman, alangkah lebih baik jika diisi dengan obrolan daripada suntuk. Akhirnya, aku memutuskan untuk mendengarkan.

Oh, perlu diketahui terlebih dulu. Aku, Ed, dan George mendapatkan shift malam selama seminggu ini. Kami adalah satpam dari sebuah gedung perkantoran yang bisa dikatakan cukup besar dan ternama di kota ini. Maka dari itu, siang malam petugas keamanan dikerahkan untuk menjaga bangunan dengan berkas-berkas berharganya. Kami berdua—aku dan Ed—baru bergabung sekitar seminggu yang lalu.

"Kalian tahu? Aku dulu seorang supir taksi. Aku biasa bekerja hingga larut malam hanya untuk mendapatkan uang tambahan."

Aku dan Ed mengangguk-angguk. George melanjutkan ceritanya.

"Aku tidak pernah mengalami hal aneh. Sampai suatu ketika aku mendapatkan penumpang di jam sebelas malam. Tidak ada yang mencurigakan. Hanya saja, aku tidak dapat melihat orang itu dengan jelas. Segera, setelah laki-laki itu masuk, aku menjalankan mobil dan selama perjalanan, kami tidak berbicara sama sekali.

"Tiba-tiba, di satu perempatan jalan, aku melihat sebuah mobil melaju perlahan, mengikutiku dari belakang. Firasatku mulai tak nyaman. Apalagi jalanan itu sangat sepi. Penumpang di belakangku mungkin merasakan hal yang sama. Untuk pertama kalinya, dia berbicara padaku dan menyuruh untuk melaju lebih kencang. Dia juga mengatakan, mobil di belakang kami adalah kawanan perampok.

"Aku pun menurutinya. Mobil di belakangku sepertinya tak ingin melepaskan begitu saja. Keringat dingin mengucur deras, tanganku gemetar tak karuan. Penumpangku terus mengarahkanku mengambil jalan yang harus kutempuh demi menghindari mobil itu. Akhirnya, di satu belokan, mobil itu tak tampak lagi. Aku pun mengembuskan napas lega."

Entah karena larut dalam ceritanya, aku ikut bernapas lega. Kulirik Ed dari sudut mataku, sepertinya melakukan hal yang sama.

"Jalanan itu lebih sepi dan lebih gelap daripada sebelumnya. Penumpang itu minta diturunkan di situ. Aku tentu saja heran, karena tempat itu bukanlah tujuan kami, tapi karena tak mau ikut campur, aku hanya bisa mengucapkan terima kasih. Aku juga berkelakar, berkatnya, aku masih hidup. Tak lupa, aku menanyakan, bagaimana bisa dia tahu kalau mobil itu kawanan perampok? Dia tak menjawab. Sebaliknya, dia menunjukkan padaku. Kalian tahu apa yang dia tunjukkan?"

Sontak, aku dan Ed menggeleng bersamaan.

"Dia membuka kerah bajunya, menunjukkan leher dengan luka menganga."

Aku—lebih tepatnya, kami—membelalak lebar. Kaget, kata yang paling tepat menggambarkan keadaan kami. Namun, secepat mungkin aku menguasai diri. Bisa saja, cerita itu hanya karangan George, bukan?

"Dia ... hantu?" Ed berkata dengan suara serak.

George mengangguk. Ia memalingkan wajah menatapku.

"Kalau kau tidak percaya, bolehlah kau cari jalan itu."

Aku hanya mengangguk pelan.

"Lalu, apa yang terjadi padamu? Kau tentu sangat ketakutan." Ed menyela.

George tertawa. "Tentu saja. Aku sangat ketakutan. Aku langsung melaju sekencang mungkin."

"Jalan di mana itu?" Aku bertanya dengan penuh penasaran.

George menyebutkan satu nama jalan. Aku meraih HP-ku dan segera menelusurinya dengan google maps. Ketemu. Tidak jauh dari sini.

Akan tetapi ... eh?

Aku menatap HP dan wajah George bergantian. Keningku mengernyit.

"Kenapa?"

Aku menatap wajah Ed yang terlihat penasaran dengan reaksiku.

"Ehm ... ini. George, kapan kau mengalami kejadian ini?"

"Sekitar sebulan yang lalu." George menjawab.

"Kau melaju kencang ke depan. Maksudku, kau tidak berbalik ke arah berlawanan?"

Gelengan kepala George membuatku tersentak. Tanpa sadar, aku meremas HP-ku gugup. Ed menatapku, terlihat bingung.

"Ada apa?" tanyanya.

Aku menggeleng cepat. Raut wajah George masih tampak tenang. Seperti menunggu kelanjutan ucapanku.

"Jalan yang kau lalui itu ... jalan buntu. Bukan jalan sebenarnya, tapi ... jurang."

Usai aku mengatakan itu, George mengangguk lalu tersenyum. Lebih mirip seringaian di mataku.

Sungguh, sekarang aku percaya hantu itu ada!

Creepypasta (Mix & Original) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang