12. Beach

2.9K 478 339
                                    

Daniel dan Jihoon, malam itu keduanya masih memilih untuk sama-sama bungkam diiringi dengan suara gulungan ombak pada bibir pantai dimana mereka sedang duduk sekarang.

Sesekali Daniel mencoba mencuri lirik kearah Jihoon yang masih diam dengan kedua atensi menatap luruh gelapnya laut malam dan ombak kecil yang terus saja berlarian hampir menyentuh kaki telanjangnya.

Beberapa kali Daniel sempat bertanya kepada dirinya sendiri, apa alasanya membawa Jihoon pergi kepantai malam ini?

Namun kembali Daniel meyakini bahwa membuat pria berpipi bulat itu menjadi tenang adalah prioritas utamanya saat ini.

"Kau-...baik-baik saja?" Daniel membuka suara.

Disana terdengar Jihoon menghirup napas dalam untuk kemudian ia hembuskan kasar sebagai jawaban bahwa ia sedang tidak dalam keadaan baik-baik saja.

Hanya selang beberapa detik kini Jihoon membawa atensinya untuk menoleh ke arah Daniel.

Kedua atensi bening milik Jihoon masih jelas terlihat sembab dan memerah, bagi Daniel saat ini Jihoon benar-benar terlihat rapuh.

Ingin Daniel membawa Jihoon dalam pelukan hangat, menyembunyikan wajah menggemaskan dengan pipi bulat itu dalam dekapanya.

Tapi Daniel masih cukup waras untuk melakukan hal-hal semacam itu lagi kepada Jihoon mengingat hadiah yang ia dapatkan terakhir kali bukan hanya umpatan dan tamparan tapi Jihoon bahkan menendangnya hingga terjungkal.

Daniel terlihat menghela napas lega dan mengusap dadanya penuh syukur saat pemikiran dan hatinya mampu berjalan beriringan, jika tidak sudah dapat dipastikan ia akan berakhir ditengah gulungan ombak kecil disana.

Daniel dan pemikiran bodohnya.

"Kenapa mereka memperlakukanku seperti itu?" Suara parau Jihoon membuyarkan lamunan konyol Daniel beberapa detik lalu.

Pria bertubuh tinggi itu kini menatap Jihoon dari arah samping dengan seksama. Ia tidak berniat menyela, Daniel membiarkan Jihoon untuk melanjutkan kalimatnya.

"Bukan hanya satu atau dua tahun, mereka terus saja menatapku dengan hina hingga sekarang"

Daniel mulai menautkan kedua alisnya, mulutnyanya gatal ingin bertanya tapi sekali lagi ia harus menahanya.

"Jika aku bertanya mereka hanya akan mendesis tidak suka dan terus saja mengumpat. Kenapa mereka tidak pernah memikirkan bagaimana perasaanku?"

Mereka?
Baiklah Daniel mulai bingung.

"Tanpa mereka bersuara, tatapan mereka sudah benar-benar membuatku terlihat rendah"

"Siapa?" Daniel sudah tidak bisa menuggu.

Jihoon menoleh, atensinya sempat terkunci pada tatapan Daniel yang menyeretnya semakin dalam.

"Siapa yang telah membuat membuat air matamu jatuh malam ini? Katakan" Seruan Daniel lebih terdengar seperti perintah dibandigkan dengan pertanyaan.

Jihoon tersenyum masam dan melarikan pandanganya kembali menatap gelapnya pantai malam itu.

"Keluargaku" Jihoon menjawab dengan singkat.

Hmm?

"Sepertinya aku sudah melakukan sebuah kejatan dan dosa besar hingga mereka memperlakukanku seperti ini" Jihoon menunduk, menyembunyikan wajahnya dengan kedua lutut yang ia jadikan tumpuan.

Daniel kembali diam dan berusaha menjadi pendengar yang baik.

"Aku bertanya dan tidak ada jawaban disana, lalu bagaimana aku harus memperbaiki kesalahan yang bahkan aku tidak tau apa itu" Jihoon terisak. Pria berpipi bulat itu kembali terdengar menangis.

SIMILIAR [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang