Side Story [BAB 1A]

6.7K 108 3
                                    

Note : Disarankan untuk baca My Stranger's Bride terlebih dahulu. Side Story ini saya share di ceritanya sendiri, tapi sepertinya error karena setiap update tidak pernah muncul jadi dishare di sini juga.

BAB 1

Alan terbatuk keras untuk mengeluarkan air yang masuk ke dalam perutnya. Ia tidak ingat bagaimana dirinya bisa keluar dari dalam air, ingatan terakhirnya adalah ia terluka, terkena panah, dan... meninggalkan Lilian—istrinya—yang ketakutan.

"Oh Tuhan...," Alan mengerang sambil merasa sakit, ia membaringkan tubuh di atas pasir. Dirinya berhasil mencapai daratan dengan sisa-sisa kekuatan yang nyaris tandas. Selanjutnya ia tidak ingat apa yang terjadi, samar-samar dirinya mendengar seseorang menghubungi Lady Morag Maclawry. Dalam ketidaksadarannya Alan merasa dirinya tersenyum, ia pasti sudah mati—atau mungkin—sedang menuju kematian pikirnya.

Sudah lama sekali ia tidak mendengar seseorang berbicara dengan ibunya. Lady Morag adalah orang yang sangat dihormati, wanita itu masih memiliki pengaruh cukup besar di kalangan aristokrat yang ada di Skotlandia. Alan terhanyut dengan semua percakapan yang ia dengar, semuanya tumpang tindih sehingga ia yakin jika dirinya bermimpi, lalu berhenti dan berlanjut ke mimpi yang lain.

Ia ingin segera kembali menemui Lilian, atau setidaknya ia berharap jika dirinya memang masih memiliki kesempatan untuk hidup, ia akan berusaha mencari jalan palang ke kastel Maclawry untuk menemui istrinya. Tapi semua kenangan tersebut perlahan mulai memudar, Alan tidak tahu sudah berapa lama ia tidak sadarkan diri. Pendengarannya hanya menangkap percakapan ibunya dengan dokter. Dokter? Lalu ia mendengar suara Peter adiknya, bahkan sepupunya Arnold dan Istrinya Livya juga tidak luput dalam pendengaran Alan.

Itu sungguh ironi yang menyesakan. Alan tidak tahu bagaimana keadaan orang-orang di kastel saat ini, ia terus mencoba dan berusaha, berharap dirinya mendengar suara Lilian. Tapi suara-suara tersebut hanya diisi oleh suara aneh—yang sepertinya berasal dari mesin. Semua kecemasan yang didengarnya mulai berubah menjadi isak tangis ibunya, entah berapa banyak wanita yang sudah melahirkannya itu bersedih. Tapi rasanya menyakitkan mendengar Lady Morag yang biasa tegas, penuh wibawa dan suka memerintah bersikap lemah seperti itu.

Semakin lama tangisan ibunya semakin sering terdengar, membuat Alan merasa muak sekaligus kesal. Demi Tuhan jantungnya serasa seperti diremas setiap kali tangisan ibunya memenuhi pendengaran. Alan mendengar Peter dan semua orang berusaha menghibur wanita itu, tapi sepertinya wanita tua yang melahirkan Alan itu cukup keras kepala; sehingga tidak mau mendengarkan perkataan siapapun.

"Aku akan tetap menjaganya," suara Ibunya kali ini terdengar lebih jelas dari biasanya.

"Aku tahu, Bu." Peter menjawab dengan nada lembut. "Setidaknya kau harus istirahat. Jika kau terus bersikap seperti ini," ada nada jengkel yang terselip dalam suara adiknya itu. "Kau bisa sakit, dan aku tidak ingin melakukan dua pemakaman sekaligus."

"Jaga bicaramu, Peter." Lady Morag menegur anak keduanya dengan suara kesal.

"Kau juga harus menjaga kesehatanmu, Bu!"

"Aku baik-baik saja." Ibunya bersikeras.

"Kau sudah cukup kelelahan selama hampir tiga bulan terakhir," Peter berusaha bersikap pengertian. Meskipun Alan yakin jika adiknya itu saat ini sedang memberenggut kepada ibunya.

"Aku akan baik-baik saja selama kakakmu masih hidup."

"Tapi kau tidak baik-baik saja sejak satu minggu terakhir. Maafkan aku." Bisik Peter dengan nada menyesal.

Hening sejenak sebelum ibunya berkata. "Aku tidak akan membunuh anakku sendiri."

"Aku tahu," jawab Peter pelan.

"Aku juga akan melakukan hal yang sama, jika yang terbaring di sana adalah dirimu," suara ibunya terdengar emosional. "Kalian adalah segalanya bagiku, bahkan jika perlu aku rela mati—jika memang diharuskan—supaya kau atau kakakmu bisa tetap hidup dengan baik."

"Aku percaya itu, Bu."

Alan tidak tahu apa yang sedang terjadi, tapi ia tahu jika adiknya sudah berjongkok dan saat ini sedang menggengam tangan ibu mereka dengan lembut sambil menatap wajah Lady Morag yang sudah diliputi garis-gari halus di wajah paruh bayanya.

"Aku tidak akan melakukannya," wanita paruh baya itu mulai kembali bicara. "Aku tidak akan melakukan apa yang disarankan dokter."

"Aku tahu," Peter berkata dengan penuh pengertian. "Aku akan mendukungmu, jika memang perlu kita bisa memindahkan Alan ke rumah sakit lain. Atau memindahkannya ke kastel, lalu kita akan menyewa jasa perawat pribadi."

"Terima kasih," ibunya berkata sambil mengusap air mata.

"Sama-sama. Apakah sekarang sudah lebih baik?"

"Ya," wanita paruh baya itu terdengar seperti anak-anak yang selesai merajuk.

"Kalau begitu kau sudah mau makan kan, Bu?" Peter tidak melepaskan tatapan dari wajah ibunya sampai wanita itu memberi anggukan pelan sebagai tanda setuju.

"Mari kuantar ke tempat duduk," Peter memapah Ibunya untuk dibawa ke meja tempat mereka makan. Namun gerakannya seketika berhenti saat menatap ke arah Alan, begitupula dengan ibunya. Kedua orang tersebut selama beberapa saat hanya membatu sambil memandanginya, lalu tanpa peringatan, Ibunya langsung berseru dengan cukup keras hingga membuat Alan merasa jantungnya seakan mau lepas dari tempatnya.

🦋🦋🦋

Halo semuanya, bab Alan versi Side Story-nya update ya. Semoga suka dan jangan lupa vote sama komen serta masukin ke reading list, sama buat yang belum follow aku aku ditunggu klik follow-nya ya juga ya, supaya nggak ketinggalan kalau pas ada update lagi. Spesial buat Riska Afrianti makasih banyak udah ngebut baca Stranger's Series sama Surrender Series juga 😘

My Stranger's Bride [Stranger's Series #2] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang