kedua- perjalanan waktu

2.1K 1K 915
                                    

“Bu, Semesta pergi dulu” ucapku berpamitan.
“Kemana?” sama seperti teriakan pada umumnya, suara ibu akan melebihi bunyi dari apapun.

Ia menuntunku, langit yang tak berjalan selalu menemaniku dan membawaku bersama bumi yang kuhentakkan keberadaannya.

Kota sepertinya sedang sibuk. Angin susah sekali rasanya lalu, terlalu menyusahkan. Tujuanku bukan arah namun langkah dan bayanganku sepertinya ingin membawaku ke tempat entah berantah.

Bising metromini yang kutumpangi dan juga ramai seperti itulah keadaan waktu itu, cukup jauh memang. Ditemani banyak orang yang tak kukenal bersama ruang-ruang, biasanya waktu akan diam sejenak mencari pemiliknya.

“Ada apa nak? Kok melamun aja? Tanya seorang nenek yang duduk disebelahku.
“Gapapa nek” ucapku memberi senyum kepadanya.

Ya, selalu dan sama saja. Semua pertanyaan tentangku akan selalu aku jawab dengan sama, entah mengapa seperti itu.

“Dulu eyang toh juga pernah muda neng,
Jatuh cinta kan?”
Sepertinya nenek ini sudah berpengalaman sekali hingga aku sulit
untuk menghindarinya dari pertanyaan tersebut.
“Jadi gini neng, kita itu butuh cinta dan semua orang butuh itu karena ingin, juga kamu tidak bisa tau kapan dia datang karena dia berhubungan dengan waktu dan kamu harus menerimanya baik tanpa waktu yang kamu rasa kurang tepat.”

Seketika aku hanya bisa mendengar perkataan itu, kata yang diucapkan seorang nenek tanpa kukira bisa membuatku terhenyap dengan semua yang ada, sepertinya terlalu sulit dipikirkan. Tapi kenyataannya berbeda.

“Eh iya nek,” ucapku dengan tertawa kecil.
“Kamu udah pernah jatuh cinta?

Tiba-tiba langit akan runtuh bumi pun juga rubuh, hal yang tak aku mengerti dan juga tak ingin sama sekali.

“Pernah, kan? sambungnya lagi dengan melihatku geli.
“Belum sih nek, emangnya kenapa nek?” tanyaku dengan sedikit malu.
“Serius toh?” Ia sepertinya terkejut.
“Yaudah bagus itu, kamu akan merasakannya jika sudah mendapatkannya dan menjadi hal yang kamu selalu inginkan, apalagi itu cinta pertama” ucapnya lagi.

Aku hanya mengangguk seperti membenarkan semua ucapannya, bagaimana tidak aku seseorang yang begitu dingin untuk hal itu.”Iya nek”

“Nak, kiri” ketus nenek tadi tiba-tiba memberhentikan Metromini. Sambil menuruni anak tangga ia terus memandangiku seperti ingin mengingatkanku dengan perkataannya tadi.

Sekarang posisiku sendiri dengan menghadap jendela sesekali aku melihat orang keluar masuk disetiap pemberhentian, dengan membawa earphone yang kugunakan setidaknya kebisingan kota ini bisa menghilang seperti angin yang terbang.

“Semesta?”
Sahut seseorang yang tak begitu nampak jelas, kacamata yang tak kupakai sedikit menghalangi dan bukan karena alasan tertentu namun aku memang tak menyukainya.

“Ta?” ucap seseorang dari kejauhan.
Ramatha Hapsa, ia adalah aku yang pergi dari bagian potongan ini, tentangnya yang belum aku sampaikan. Seperti kata yang tak terucap ataupun rasa yang tak terungkap.
“Rama?” sapaku ingin memastikan seseorang yang kulihat itu.
Ia sekarang ada disampingku dengan membawa tas ransel hitamnya, dan juga kenangan yang ia bawa kembali.
“Kamu semesta kan? tanya Rama untuk memastikan apa yang ia lihat.
“Kenapa gabilang udah balik si? Tanyaku kesal.
“Biar ada kejutan gitu lah”
“Kapan sampai? Trus kuliah kamu di Jogja gimana?”
“Baru ketemu udah diserbu pertanyaan, kasih waktunya rindu kek ehehe”

Itulah dia Ramatha. Seseorang yang kucari untuk kembali, tentang semua pertanyaan yang ia bawa pergi dan menjadi akhir dari perjalanan waktu yang kualami.
“Bang, kiri” ia memberhentikan Metromini itu,
Tiba-tiba dia memegang tangan kananku seperti ingin mengajakku turun juga, “Mau kemana sih?” tanyaku karena ia seperti terburu-buru.
“Ikut saja, nanti juga tau.”
“Kenapa ga sekarang aja?” bintaku dengan nada kesal padanya. Tapi seakan tak mendengar ia hanya diam saja

LinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang