keempat- antara

621 339 163
                                    

Untuk, Semesta

Ta? Aku tau terlalu lama, kan? Maaf, tapi kuharap hingga saat ini kau masih untukku. Bagaimana kabarmu? Semoga baik-baik saja. Aku tau saat kamu membaca tulisan ini sebenarnya keadaanmu sedang tidak baik, hanya saja itu karena aku bukan?

“Kamu sudah tau jawabannya, Rama..” lirihku sesudah itu.

Apa mungkin aku orangnya? Maaf. Kupikir seharusnya aku bukanlah orang yang mencintaimu, Ta. Karena yang bisa kulakukan hanyalah membuatmu menunggu dan selalu begitu hingga aku tak sadar sedang menyakitimu.

Sesaat helaan napasku tak beraturan, seakan tak percaya bahwa ia mengatakan hal seperti. Aku tertegun, dan beriringan dengan tetesan air mataku.

Semesta? Terlalu indah, tak ingin aku menyakitimu terus-menerus.

“Maka dari itu, pulanglah...”

Aku tau kamu akan menanyakan kenapa aku tak pernah membalas pesanmu itu, Ta. Bukalah, buka secarik kertas lainnya. Semoga kamu bisa mengerti.

Benar saja. Sekarang aku melihat secarik kertas lainnya yang tersimpan rapi. Tak bisa kutebak, karena awalnya yang kulihat hanya surat yang sedang kubaca tadi. Namun, aku tak sanggup untuk membukanya. Hanya kupandangi sesekali seakan enggan menerima jika pikiran-pikiran buruk di otakku terjadi.

Atau akan membuatmu tak menginginkanku lagi?

Baru kali ini, semua tak ada arti karena ia merasa tak percaya padaku dan dirinya sendiri. Tak kusangka hanya sampai sini kepercayaannya bahwa kita masih sama.
Kubuka kembali secarik kertas tadi yang sebelumnya tak kupedulikan. Beberapa saat aku terhening, bumi menghentakkanku pada dasar terbawah. Seperti hanyut dalam aliran pikiranku yang membaur kian liar.

“Ta?”

Sorai dari kejauhan menyapaku. Namun, aku enggan mengangkat kepalaku apalagi untuk menoleh agar mengetahui siapa yang memanggilku itu. Semakin keras mengiang ditelingaku dan sepertinya ia berjalan mengarah kepadaku.

Ia memegang pundakku, lalu tersenyum.

Ternyata itu Lani, setelah menghampiriku ia memilih duduk di sebelahku dengan ayunan yang berbeda. Sesekali ia melihat ke arah yang sedang kupegang, kupikir ia tau apa yang sedang terjadi padaku. Untung saja, ia sama sekali menanyakannya lagi sebab itu tak akan membuatku menjadi lebih baik lagi.

Raut jingga kian tenggelam di pelupuk mataku. Beriringan dengan air mata yang seolah kusembunyikan dengan baik. Sudah berapa lama aku berada disini, entah apa yang kulakukan nyatanya hanya diam. Begitupun dengan Lani.

“Lan?”
“Iya, Ta?”
“Kamu ngapain kesini?”
“Seharusnya pertanyaan itu untuk kamu, Ta”

Bisa tidak ya, jika waktu berputar mundur dan disaat itu aku sudah tau akan melakukan apa. Setidaknya, yang kulakukan tidak sia-sia. Sudah, sudahlah pikiranku makin mengacau saat harus merasa berjalan diantara dua pilihan yang menyakitkan.

Setelah begitu lama duduk, akhirnya aku ingin pulang. Tak butuh waktu lama karena secara bersamaan Lani menawarkanku untuk serupa.

Di dalam mobil pun kami masih saling bungkam. Tak kunjung bicara, pandangannya hanya lurus ke depan. Ia sama sekali tak menghiraukanku, mungkin ia ingin aku masih berkutat tentang pikiranku dan berpikir yang baik-baik bahwa tak semua kemungkinan menjadi kenyataan.

Berbeda kali ini, biasanya jika aku sedang bersamanya ia akan memutar lagu The Beatles atau semacamnya. Ia membiarkanku mendengar suara bising kota yang kian senyap, agar bisa mengiringi jalan yang tak ingin untuk aku pulang. Apa kau mengerti?

“Sudah sampai, Ta” katanya.
“Lan?” panggilku.
“Iya, Ta?”
“Boleh aku bertanya?” Ia memerhatikanku, “Bukan. Maksudku, apa boleh aku mengungkapkan pernyataanku tentangnya?” ucapku lagi.

Lani segera menyuruhku untuk duduk di kursi teras rumahku. Ia tau kalau aku harus berada dalam keadaan tenang jika saatnya untuk bercerita, itupun ia tak meminta kepadaku hanya saja aku yang ingin berterus terang kepadanya. Memang kepada siapa lagi aku bercerita? Semesta? Entahlah, kurasa hanya mengecewakan untukku.

Malam ini Ibu sedang tak ada di rumah. Sebelum aku berangkat ia sudah memberitahuku kalau ia akan pergi ke rumah nenekku. Mungkin saja menginap dan tentunya aku di rumah sendirian.

“Rinda bagaimana, Lan?” tanyaku sembari duduk.

Seperti kehilangan kesadaran aku baru saja ingat bahwa aku pergi bersama mereka tadi. Menemani Rinda yang mengunjungi toko Ibunya, tapi entah kenapa intuisiku menuntunku agar pergi ke tempat itu. Kenapa harus tempat itu? Apa tidak ada tempat yang lain di dunia ini? Semesta, aku tidak mengerti.

“Dia sudah pulang dengan Ibunya, Ta, sesaat sebelum aku menemuimu”

Aku mengangguk singkat, lalu tersenyum.

Apa? Aku hanya sedang mencoba baik-baik saja agar orang lain tak mengetahui apa yang kurasa dan terjadi padaku. Aku tidak ingin menyusahkan orang lain.

“Ta?” ucapnya lagi.

Aku tak menjawabnya hanya memberikan surat yang sempat kubaca tadi kepada Lani. Begitu menyakitkan untuk dijelaskan. Seakan mengerti, Lani membaca surat itu dan sesekali memandang rupaku yang sudah benar-benar buruk.

Tak lama setelah itu ia menyimpannya, menyembunyikannya dari pandanganku. “Lalu kamu apa, Ta?”

“Aku..”
“Sudah, Ta, percuma juga aku mengajakmu bicara di saat keadaanmu seperti ini. Karena yang menemukan jawabanmu itu dirimu sendiri, Ta.

Benar. Kalimat yang diucapkan Lani benar-benar membuatku terdiam. Aku tak mengerti dengan diriku sendiri. Lalu apa?

Sudah berapa banyak pertanyaanku kepada semesta, kupikir semesta sudah tak ingin mendengarkannya. Entahlah, aku tak bisa apa-apa.

Aku diam.

Rintih hujan mulai turun, langit-langit tampak menyedihkan. Lani menatapku. Lalu, ia menuntunku dengan pelan agar segera masuk ke dalam dan duduk di sofa.

Kugenggam surat tadi begitupun dengan secarik kertas. Lani memelukku erat. Saat ini tangisku jatuh membasahi lembaran-lembaran menyakitkan itu.

**

Aku bangun agak kesiangan pagi ini. Mataku penuh dengan tangisan itu membuatku cukup kelelahan hingga aku tak sadar tertidur di atas sofa. Kulihat jam di dinding yang terus saja berdenting tanpa pernah hening. Lani? Dimana dia? Kupikir ia masih berada di sini.

Aku beranjak berjalan mencari Lani. Karena semalaman aku berada di dekapannya. Rumahku tampak sepi, mungkin Ibu masih belum pulang.

“Lan?” sorakku yang mencari keberadaannya di setiap ruang.

Langkahku berhenti. Setelah melihat seseorang yang sedang menyiapkan sesuatu di dapur. Ia bukan Lani, sebab dapat kulihat ia berdiri dengan tubuh tegapnya itu. Tak lama setelah itu, aku mencoba mendekatinya untuk mengetahui siapa dia.

LinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang