keempat- awal cerita

1.2K 818 658
                                    

Rama mengernyitkan matanya “Janji ya, Ta?” dengan menyodorkan jari kelingkingnya di hadapanku. Saat ia mengatakan hal seperti itu seakan membuatku dipaksakan atas semua apa yang ia inginkan yaitu kepercayaan yang harus kuberikan padanya.

Ia untuk pergi dan memberiku kembali jikalau saja semua seperti demikian.

Aku hanya mengangguk seperti mengiyakan apa yang ia ucapkan itu, untuk kedua kali ia pergi lagi untuk mimpi-mimpi nya yang tinggi. “Aku pergi meninggalkan semesta yang tak utuh, Ta” dekap tubuhnya memelukku erat.

Aku ingin memberhentikan waktu saat itu, ingin lebih lama setidaknya. Jika saja memiliki mesin waktu pasti kulakukan nyatanya aku bukan seseorang karakter kucing dengan kemampuan kantong ajaibnya itu.

Ia melepaskan pelukan itu, memandangi jam dikiri tangannya dengan raut wajah yang tak ingin kusimpan. Dan benar kata banyak orang, bandara adalah perpisahan antara jarak dan waktu yang tak pernah menyatu

Aku kehilangan lagi dirinya,

“Dia pergi untuk belajar, Ta. Kau harus lebih dewasa menyikapinya” Kalimat itu terngiang berulang kali didalam pikiranku.

**

“Pak Jaja, bisa jemput saya di bandara gak? Tanyaku lewat telepon genggam.

“Bisa, nak” balas Pak Jaja. Seorang yang telah lama menemaniku sejak kecil, bukan hanya sebagai supir tapi sudah melebihi dari keluarga ku sendiri. Ia hidup sendiri tanpa adanya seorang istri, entah kenapa begitu padahal umurnya sudah cukup dewasa untuk memiliki seorang istri itu.

Aku berjalan menuju toko di dekat bandara, duduk di pelataran pohon yang cukup rimbun untuk menghindari cahaya surya itu. Sepertinya langit sedang merasakan kebahagian nya, berbanding terbalik dengan diriku saat ini.

Kuputuskan untuk meliburkan diriku dari sekolah untuk mengantarkannya pergi, lagi pun ibu juga mengizinkanku karena ia tau bagi Semesta Rama adalah segalanya.

Aku mengernyitkan mataku,
Pantulan surya membuat bola mataku sedikit merasakan silau, dan tangan itu tiba-tiba menghalanginya..

Kupandangi seseorang yang berada disampingku, ia tak cukup aneh bagiku dan tampak tak asing. Aku berusaha melihatnya lebih jelas dan jalan satu-satunya adalah mendekati nya, dan seseorang itu adalah

Lingga.

Ia menarik pandangan disekitarku lebih dalam kepadanya, seakan bola mataku hanya bisa melihat satu arah dan tak bisa berputar sedemikian rupanya. Aku terdiam pada keadaan itu.

“Pak Jaja nya gak bisa jemput, Ta” ucapnya memecahkan hening.

Apa lagi yang terjadi semesta untukku? Pikirku.

“Ka....katanya tadi dia bisa” ucapku dengan raut wajah terkejut yang tak bisa aku sembunyikan.

“Barusan dia telepon aku, Ta” ia memasang wajah yang untuk meyakinkanku. Aku pun hanya mengangukkan kepalaku sebagai tanda mengiyakan apa yang semua ia katakan, lagi pun ia hanya untuk mengantarkanku tidak mungkin ada hal lain.

Ia menarik tanganku, “Mau kemana?” tanya Lingga.
“Pulang” ucapku singkat
“Aku mau makan, ikut ya”

Aku lupa sarapan pagi karena terlalu terburu-buru untuk mengantar Rama pergi, sebenarnya tak ingin mengantarkannya sama sekali namun aku sudah berjanji akan melakukannya. Aku harus melakukan yang tak kusukai, dan seperti yang kulakukan saat ini.

Aku tertunduk pasrah dengan ajakannya, lagi pun aku memang sudah merasa lapar.

**
“Pak, yang biasa ya” teriak Lingga pada pedagang tepi jalan itu.

LinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang