kelima- pilihan

460 222 41
                                    

Aku bangun agak kesiangan pagi ini. Mataku penuh dengan tangisan itu membuatku cukup kelelahan hingga aku tak sadar tertidur di atas sofa. Kulihat jam di dinding yang terus saja berdenting tanpa pernah hening. Lani? Dimana dia? Kupikir ia masih berada di sini.

Aku beranjak berjalan mencari Lani. Karena semalaman aku berada di dekapannya. Rumahku tampak sepi, mungkin Ibu masih belum pulang.

“Lan?” sorakku yang mencari keberadaannya di setiap ruang.

Langkahku berhenti. Setelah melihat seseorang yang sedang menyiapkan sesuatu di dapur. Ia bukan Lani, sebab dapat kulihat ia berdiri dengan tubuh tegapnya itu. Tak lama setelah itu, aku mencoba mendekatinya untuk mengetahui siapa dia.

Tiba-tiba saja ia membalikkan tubuhnya. Aku sempat terkejut dengan keberadaannya disini, sebab seseorang itu adalah Reno.

Aku terdiam seketika dan lalu,

“Ta?” ucapnya sambil memegang bahuku.

Ia tampak berbeda kali ini, entah kenapa aku berpikir seperti. Mungkin sejak aku berkenalan dengannya baru kali ini saja ia mengunjungi rumahku. Ada apa?

Sebelum melangkahkan kaki ke tempat yang sama, sebenarnya aku berharap seseorang itu adalah Rama. Entahlah, aku terlalu menanti hadirnya untuk saat ini.

Ia melambaikan tangannya didepan wajahku setelah cukup lama aku tak menjawab panggilannya itu. Mungkin ia ingin memastikanku benar-benar sadar atau tidak. Semesta sadarlah!

“Ren?” ucapku perlahan pelan.

Seakan mengerti ia menuntunku agar segera duduk di kursi  terlebih dahulu. Kupikir ia tahu bahwa aku tidak berada di keadaan yang baik-baik saja.

“Rama ya, Ta?” sergapnya setelah itu.

Lani mungkin sudah memberitahukannya kepada Reno. Maka tak heran jika ia bisa menebaknya dengan benar. Tapi, sekarang ia dimana?

Aku menahan semua yang telah lama kusimpan, setelah menitipkannya pada seseorang yang kini memilih meninggalkanku.

Ia mengikuti bola mataku yang seperti sedang mencari sesuatu. Dan benar, tak lama kemudian ia menjawab pertanyaan yang belum sempat kulontarkan padanya.

“Lani yang menyuruhku kesini, Ta” lanjutnya lagi.

Sekilas aku hanya menganggukan apa yang ia ucapkan. Setelah dari itu, aku memilih diam kembali dan mengurung diri untuk bercerita kepada Reno.

Reno sama sekali tak memaksaku untuk bercerita yang biasanya diawali dengan cercaan pertanyaan yang diberikan. Justru sebaliknya, ia memberikan aku waktu untuk sendiri dan sepertinya dia tau itu karena sudah cukup lama mengenalku.

Tak lama kemudian ia memintaku agar segera makan. Tentu ia sudah menyiapkannya di depanku saat ini, “Ini, Ta” ucap Reno

Apa semua ini adalah untukku? Apa ini benar-benar sesungguhnya?

Entahlah, aku hanya sedang menanyakan itu pada diriku sendiri tanpa tau apa jawaban yang tak kuingini. Beberapa kali aku mencoba untuk berjalan pada sebuah pilihan yang belum kuputuskan hingga aku merasa kehilangan.

Semesta? Aku tak mengerti.

“Ta?” ucap Reno lagi.

Ya benar. Ia membangunkanku dari mimpi tentangnya yang kupikirkan. Entah seiring waktu berlalu aku mulai membiasakan diri dengan hal ini.

Aku membangunkan tubuhku sesegera mungkin. Tampak Reno menatapku seiring saat aku memilih meninggalkannya disini. Beberapa alasan menyebabkanku untuk melakukannya, karena yang merasakan semua ini adalah untukku.

Tak lama setelah itu aku berjalan menuju kamarku. Entah kenapa tapi aku ingin saja untuk menyembunyikan diriku dalam sepi. Mataku tak usai memandang langit-langit kamar yang seolah ingin menimpa tubuhku yang sedang patah. Aku membiarkan segala rasa saat ini lepas, ada bahagia yang ia rampas. Apa untuk itu aku seseorang yang tak pantas?.

Sedari tadi surat yang kugenggam kian erat. Hatiku semacam itu, tak serupa saat bermula. Banyak yang pernah terjadi padaku, bahkan saat ini adalah tak sekiranya yang kusangka.

Terdengar langkah kaki seseorang yang berjalan ke arahku saat ini. Semakin dekat semakin jelas, terlebih saat ia sembari menyuarakan namaku itu berulang kali. “Ta?”

Segera kusembunyikan surat itu yang tampak sudah lecak dengan tangisanku. Beberapa kali kucoba untuk tak melihatnya lagi dan lagi.

Mereka mendekap tubuhku dengan hangat. Benar saja, itu adalah Lani dan Rinda. Aku merasa saat ini akan lebih buruk tanpa mereka. Sungguh.

“Sudah, Ta. Semua akan baik-baik saja.”

Kalimat itu terus saja mereka ucapkan kepadaku. Sesekali aku menahan air mataku yang tak ingin untuk jatuh lagi. Tubuhku lenyap dengan perasaanku sendiri. Entahlah, kupikir semesta sudah tau.

Setelah cukup lama, akhirnya Reno meminta izin untuk pulang kepadaku. Namun, lain halnya dengan mereka. Lani dan Rinda memilih untuk menemaniku saat ini. Langit malam mulai kelabu, dalam gelapnya ia menyerah pada ribuan bintang yang kini menghilang. Tak lagi bersinar, sama sepertiku. Ada yang sedang kusembunyikan seakan rintik hujan yang ingin datang.

Malam itu Ibu pulang tanpa memberi kabar yang pasti untukku. Kulihat dengan lebat rintik hujan membasahi seisinya, sama sepertiku saat ini. Untung saja tidak dengan Ibu. Tadinya Lani dan Rinda meminta izin untuk pamit kepada Ibu, tapi Ibu melarangnya. Katanya hari sudah larut gelap dan sedang hujan. Namun, mereka pulang dengan mobil jadi apa salahnya?

Ibu menatapku penuh makna. Ia sepertinya tahu bagaimana diriku saat ini. Tak banyak bicara. Aku memilih untuk pergi ke kamar dan meninggalkan Ibu dan juga mereka. Kupikir Ibu pasti akan menanyakan banyak hal kepada mereka tentangku.

Semesta? Aku tak tahu kenapa kau menetapkan garis seperti ini. Aku bingung. Diantara ujung jalan yang pernah kutemukan. Aku ingin berada di titik itu. Berhenti untuk merasa tak mengerti apa yang terjadi padaku.

Kututup kembali buku itu yang tak usai membuat air mataku jatuh. Kupikir kalian pasti tahu bagaimana rupaku saat ini.

**

Sebelum memulai hari, aku terbangun dengan sepasang mata yang lembab. Entah sudah berapa banyak air mataku jatuh. Mentari menyapaku dengan terik yang menyilaukan. Mungkin ia tahu aku harus sepertinya, bukan menjadi orang yang terus saja tenggelam pada keredupan.

Pagi ini seharusnya aku sudah berada di sekolah untuk berkumpul. Katanya, ingin mempersiapkan liburan akhir sekolah. Entah bagaimana mendengar hal itu membuatku tak ingin untuk pergi.

Kulihat mereka sudah tidak lagi disini, mungkin ia meninggalkanku pulang saat aku sedang terlelap dan memastikanku baik-baik sebelumnya. Padahal, aku tak merasakan hal itu sama sekali saat ini.

Ibu memintaku agar pergi ke sekolah hari ini. Ia bilang aku akan menyesal jika tidak ikut, terlebih akan berpisah dengan teman-temanku yang akan melanjutkan pendidikannya masing-masing setelah ini.

Entahlah, apa harus seperti itu? Mungkin benar, tak seharusnya aku begini hingga membuatku tak ingin pergi karena alasan yang... ah kalian pasti akan mengerti.

Setelah sesampainya di sekolah dapat kulihat beberapa anak kelasku sedang berkumpul menunggu di tengah lapangan itu.

“Ta?” ucap Lani setelah menyadari kehadiranku.

“Sudah di mulai?” tanyaku padanya berusaha menyembunyikan dengan baik.

“Jogja, Ta” Rinda menghampiriku dan menoleh menatapku

“Maksud kalian apa?”
Aku seperti seseorang yang kebingungan tak mengerti apa yang sedang mereka katakan padaku saat ini.

“Kita akan pergi ke Jogja, Ta”

Sekarang mereka berhasil membuatku terdiam dan setelah ini kalian pasti tau bagaimana aku saat ini. Kupikir ini akan menguatkan alasanku untuk tidak pergi. Sudahlah, kalian pasti paham kan.

“Kenapa harus Jogja, sih?”

Semesta? Apa kau sedang mengirimkanku agar menemukannya?

LinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang