ABUN Part-4

187 27 6
                                    

Biar lebih menghayati, kuy sambil di dengarin lagunya.
(Simfoni Hitam-Sherina)
Vote & Coment

Episode 4

12.30

Setelah perkenalan di rumah Rafka beberapa waktu yang lalu, hari-hariku berjalan seperti biasa tapi kali ini aku merasa lebih menyenangkan, datang ke sekolah, belajar, bercanda dengan teman-teman sekelasku, izin ke kamar mandi bareng Heliana tapi malah ke kantin makan siomay buatan Mang Herman atau sesekali mampir di warung Mbak Arini, melewati masa-masa sekolah yang indah, menikmati setiap jalannnya waktu.

Berbeda dengan Heliana, ia punya pekerjaan tambahan baru yang rutin dikerjakannya, membuka surat balasan Rafka, membacanya, tersenyum, kemudian menulis di atas kertas lusuh itu apa yang ingin ia ceritakan. Dunia Heliana menjadi lebih berbunga, ku pastikan ini akan menjadi salah satu bagian cerita hidupnya yang menyenangkan, juga akan dikenang dan diceritakannya kembali sepuluh, dua puluh, tiga puluh tahun ke depan, jika suatu waktu nanti kami masih bisa bertemu.

Rafka dan teman-temannya juga punya kebiasaan baru. Datang ke sekolah lebih awal, berdiri di depan pintu kelas kami, memasang wajah sumringah, tersenyum manis menyambut Heliana dan aku keluar dari kelas. Aku pastikan jika kalian melihat jejeran pria-pria ini, kalian akan mati terpesona. Kejadian seperti ini selalu berlangsung setiap hari.

Hari ini Aku dan Heliana juga melakukan hal yang sama dengan mereka, memasang senyum semanis dan sebagus mungkin, menyambut teman baru kami. Tapi saat itu entah kenapa mataku selalu hanya mencari Leon, kemudian kami saling tatap dan tersenyum, ku rasa sejak saat itu aku sadar kalau aku benar-benar menyukainya. Aku dan Heliana kemudian bergegas berjalan bersisian keluar meninggalkan kelas, berjalan di lorong berbelok ke kanan menuju gerbang sekolah.

"Ke toko buku depan sekolah yuk Nas, ada buku yang mau aku cari nih."

Aku mengangguk kemudian kami berjalan menuju toko buku di depan sekolah, toko buku ini berlantai dua. Aku dan Heliana selalu suka pergi ke lantai dua dari toko buku ini, gedung toko buku ini bangunan tua dengan gaya bangunan Belanda, tetapi sudah mengalami beberapa renovasi. Di lantai dua terdapat ruangan luas dengan kaca-kaca besar di keliling sisinya. Di sisi paling kanan dan kiri ada dua buah kaca jendela yang bisa dibuka, berguna untuk sirkulasi udara karena di lantai dua enggak difasilitasi pendingin ruangan. Saat Heliana sedang sibuk berkutat menemukan buku yang dicarinya, aku berjalan ke sisi kiri ruangan, membuka jendela kaca dan kemudian disusul udara yang merengsek masuk.

Di samping toko buku ini ada satu pohon Angsana yang usianya mungkin sudah puluhan tahun, sama gagahnya dengan pohon-pohon Angsana di jalanan samping rumahku. Kalau di musim Angsana berbunga, dari daun-daunnya yang rimbun dan di setiap pucuk rantingnya akan bermekaran setumpuk bunga-bunga kecil berwarna kuning, bunga favoritku, bunga Angsana. Lalu jika ada salah satu rantingnya yang menjulur ke bingkai jendela, aku akan menggapai dedaunannya dan memetik tumpukan bunga itu, mencium wanginya dan aku selalu suka bunga Angsana di musim semi.

Aku dan Heliana menghabiskan waktu di dalam toko buku sampai waktu menunjukkan sudah hampir pukul 2 siang.

"Pulang yuk Nas, udah dapat nih bukunya." Heliana menghampiriku kemudian menunjukkan beberapa buku di tangannya. Aku mengangguk mengiyakan.

Kami pun meninggalkan toko buku, saat kami melangkah menuju halte dimana kami biasa menunggu angkot untuk pulang, tiba-tiba sebuah mobil merah berhenti di hadapan kami.

"Heliana, Natusha pulang sama yuk." suara Siska terdengar dari balik kaca mobil, kami saling tatap kebingungan.

"Ada apa Sis?" tanya Heliana.

Angsana Berbunga Untuk NATUSHATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang