Sembilan

87.2K 9.6K 648
                                    

Restu menopang dagu dengan satu tangannya. Cowok itu menatap tak berkedip pada kekasihnya yang terlihat begitu lahap menyantap siomay yang ia belikan untuk kekasihnya yang tengah kelaparan. Restu sendiri tidak memesan apapun. Lebih menikmati pemandangan di hadapannya.
Mungkin hanya perasaan Restu saja atau memang benar adanya jika Nessa jauh lebih cantik dengan ekspresi wajah kepedesan. Ditambah bulir kecil keringat yang menghiasi hidung dan bawah hidungnya.

"Nggak mau?" Nessa mengarahkan garpu ke arah cowok di hadapannya.

"Buat kamu aja, Sayang," tolak Restu lembut.

"Iya udah, aku lanjutin aja makannya. Kamu lanjut liatin akunya," ujar Nessa lalu terkekeh pelan disusul elusan penuh sayang dari Restu di puncak kepalanya.

"Aku perhatiin kamu jarang jajan. Kalau istirahat kamu lebih sering makan bekal sendiri. Bahkan minumnya kamu juga bawa dari rumah," ujar Restu membuka topik pembicaraan.

Meskipun Restu tidak pernah satu kelas dengan Nessa, tapi untuk kebiasaan Nessa yang satu itu ia tahu. Nessa jarang sekali muncul di kantin. Saat jam istirahat, gadis itu di kelas memakan bekal yang dibawa. Kalaupun ke kantin, hanya membeli tisu. Berbeda dengan Restu yang lebih sering ke kantin. Kadang jam pelajaran pun Restu di kantin.

"Nggak boleh keseringan jajan sembarangan sama papa. Lagian udah dibawain bekal sama bunda. Jadi uang sakunya utuh, bisa buat beli yang lain."

Restu tersenyum getir. Betapa beruntungnya Nessa memiliki orangtua yang begitu perhatian. Bahkan urusan makan pun mereka begitu memperhatikan. Lain cerita dengan Restu yang tidak mendapatkan perlakuan seperti itu. Bahkan mirisnya Restu belum tahu siapa sosok ayahnya. Jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, cowok itu ingin sekali merasakan bagaimana memiliki seorang ayah.

"Aku seneng, kamu punya orangtua yang perhatian. Jadi aku nggak khawatir kamu kekurangan kasih sayang," ungkap Restu pelan.

Nessa terdiam. Entah mengapa ucapan Restu mengingatkannya pada sosok papanya yang sering bermain tangan dengannya. Gadis itu melirik jari-jari tangan kirinya yang lebam akibat pukulan rotan yang begitu keras tadi malam. Luka yang selalu menjadi saksi dirinya disakiti.

"Kok berhenti makannya? Mau aku suapin?"

"Ehhh- nggak. Aku udah kenyang," kilah Nessa lalu menyedot jus alpukat miliknya.

"Mau langsung balik ke kelas? Jam istirahat udah mau habis."

"Mau ke perpustakaan ambil buku yang ketinggalan di sana."

"Nanti aku yang ambil. Capek entar kalau kamu bolak-balik mulu. Kelasmu jauh dari perpustakaan. Ntar aku antar ke kelas kamu. Tenang aja. Kamu jadi pacarnya Restu Setyadji Winata bakal merdeka!"

Nessa terkikik geli mendengar celotehan pacarnya yang sedikit mengubah hari-hari kelamnya.

"Iya udah kita balik sekarang aja."

"Yuk! Oh iya, kalau kamu makan di kantin nggak usah bayar. Bilang aja sama Bu kantinnya, 'yang bayar pacar saya, Bu. Saya pacarnya Restu Setyadji Winata' gitu. Ibu kantinnya udah aku kasih tau kok."

Nessa menghela napas.
"Nggak usah kayak gitu Res. Kita masih pacaran, jangan aneh-aneh deh."

"Nggak usah protes Nes. Manfaatin aja fasilitas yang aku kasih buat kamu. Nggak ada ruginya kok aku kayak gitu ke kamu. Duit nggak ada artinya dibandingkan punya pacar kayak kamu."

"Receh."

"Astaga! Udah mikir keras buat ngeluarin kata-kata itu malah dibilang receh. Untung sayang," dengkus Restu.

"Tolong seragamnya dimasukin, dasinya dipake, rambutnya segera dipotong karena udah kepanjangan, dan celananya jangan dipensil. Kebiasaan buruknya dikurangi," ucap Nessa. Nessa kembali menjadi Nessa yang suka memarahi Restu.

I'm Fine Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang