Prolog

187 18 7
                                    

Mentari sudah terlelap, kini tergantikan oleh malam yang mulai menyapa dengan dingin dan keheningan menusuk pilu. Keramaian pun sedikit demi sedikit hilang tak bersapa. Sesekali aku melirik logam kecil yang tergantung pada pergelangan tangan. Tentu saja, putaran demi putaran menunjukkan waktu semakin larut dan sudah menebarkan pekatnya malam.

Aku terduduk sendiri diantara kekosongan. Dinginnya kursi depan etalase minimarket pun menjadi saksi biksu bahwa aku masih setia menunggu, meskipun waktu telah mengisyaratkan untuk aku segera berlalu.

"Lo dimana? Gue sama Bintang udah sampe di lokasi. Langsung kesini ya, gue udah minta Bintang buat nunggu di kursi putih dekat gerbang taman"

Pesan singkat yang masuk memberi tanda bahwa aku harus segera berlalu dari tempat ini. Udara malam semakin menyelimuti ketika aku memacu kendaraan untuk menuju sebuah dinding kokoh yang telah aku bangun bertahun - tahun. Menatap kosong sudut kota sepanjang perjalanan menjadi makna bahwa pikiranku sudah tak mampu untuk memikirkan banyak hal.

Aku parkirkan kokoh sepasang kaki kedua ku disudut jalan. Ya hanya kaki kedua ini yang terasa kokoh, tapi tidak dengan sepasang kaki yang benar - benar aku miliki.

Sepasang kaki ini enggan untuk melangkah lebih jauh meninggalkan sudut jalan. Namun pikiran dan hati selalu memaksaku untuk melangkah, menemui sosok yang jelas sudah terlihat dibawah lampu - lampu taman lengkap dengan kursi yang siap menjadi saksi kelu yang terjadi.

"Kamu udah minta ke orangtua ya! Orangtua nerima semuanya, sesanggupnya kamu. Keluarga besar juga udah setuju, bahkan kamu itu disayang dan diharepin sama semuanya! Kamu pura - pura lupa atau justru kamu sengaja lupain semuanya? Lupa sama rintangan dan perjalan kita bertahun- tahun? Lupa sama arti saling perjuangin satu sama lain? Lupa sama segala hal yang kita lalui semuanya dari nol? Ini hasil yang aku terima dari semua perjuangan dan penantian aku selama ini? Licik!!!!"

"Maaf, saya udah nggak bisa sama semunya. Saya udah nggak ada rasa apa - apa lagi. Kamu fokus aja untuk menyelesaikan skripsimu, jangan pernah berpikir lebih tentang semuanya. Walaupun kamu berusaha buat memikirkan semuanya, itu mustahil karena saya udah nggak bisa lagi Vi"

Seketika kaki yang benar - benar berusaha melangkah untuk mampu menemui kini telah mati rasa, sama seperti hati yang sudah mati rasa dengan ribuan cabikan luka. Dinding kokoh yang sudah aku bangun selama tiga tahun, kini runtuh menjadi puing - puing tak tersisa.

Pertahanan air mata yang sudah tak mampu aku bendung lagi. Isakan kecil dan senyuman getir menjadi wakil tentang kemelut pikiran dan hati, sampai pita suara pun sudah tak mampu bergetar untuk mengucapkan kata.

"Nggak bisanya kenapa coba?? Kamu jangan bercanda, nggak lucu sumpah!!!"

"Ya nggak bisa aja, saya udah nggak ada rasa apa - apa lagi Vi, saya nggak bisa maksain semuanya lagi"

"BOHOONG!! Itu cuma alesan klasik kamu."

"Maaf Vi sekali lagi, saya juga nggak bisa lama - lama disini"

Bintang berlalu meninggalkan sejuta pertanyaan dalam heningnya malam, tanpa alasan dan tanpa penjelasan.

.
.
.
.

Diambil dari real story yang rasanya nano - nano dan complicated problem.

Penasaran???? baca sampai akhir yaa~~
Dan jangan lupa komentar dan klik tombol bintang dipojok bawah. Happy reading and enjoy guys.... 😊😉💕

ASARIGNA (On Progress)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang