Penolakan (1)

51 9 0
                                    

Kursi - kursi masih terlihat kosong dibeberapa sudut ketika kami telah sampai. Saat berjalan menuju kursi tersebut, Yulia dan Lina mensejajari langkahku. Dan tentu saja Bintang berjalan cukup berjarak dariku bersama teman lelaki yang lain.

"Jeeng, lo sama Bintang sekarang?"

"Iya jeng baru beberapa hari sih sebenernya"

"Oh, jadi juga toh sama Bintang" nada bicara Yulia cukup mengusikku.

Dinginnya udara malam kian lebih terasa menusuk. Keheningan dan kecanggungan menyelimuti kami. Tepat seperti adanya awan mendung yang tersingkap diantara keramaian.

Dugaku sepertinya ada yang tak beres diantara kami semua. Entah hanya perasaan yang mengganjal dipikiranku saja, atau mungkin ini sebuah pesan tersirat yang sedikit menunjukkan adanya sesuatu.

"Guys, mau pada pesen apa?"

"Lo aja dulu deh Vi yang pilih menunya" Lina menyodorkan buku menu yang tersedia di meja.

"Kamu mau pesen apa?" alihku pada Bintang yang sedari tadi aku baru menyadari bahwa Bintang lebih banyak terdiam.

"Terserah, aku ikut kamu aja yang"

"Berarti samain aja ya?"

"Iya samain aja sama kamu"

Ketika aku fokus melihat tulisan beserta gambar yang tersusun rapih pada lembaran - lembaran buku menu, aku merasa ada sesuatu yang sedang memperhatikan diriku. Aku melirik perlahan ke arah depan, seketika sorot mata antara aku dan Lina bertemu.

Tanpa adanya kata yang terucap, aku sudah dapat memahami akar kecanggungan yang terjadi diantara kami. Sontak akupun reflek sedikit canggung menoleh ke arah Bintang, dan mungkin hal ini yang membuat Bintang lebih banyak terdiam.

"Aiiihhh... kenapa pada diem - dieman semua? nggak asik ah.." Iqbal berusaha mencairkan suasana beku layaknya bongkahan - bongkahan es yang masih terjaga kedinginannya.

"Aku biasa aja kok, yaudah kamu mau pesen apa?" Lina sedikit menekan.

"Aku udah milih menu ko, kamu mau makan apa?" Iqbal balik bertanya.

"Samain aja kalo gitu" serempak Lina dan Yulia

"Yakin nih disamain aja?"

Yulia dan Lina hanya mengangguk sesaat.

"Gue pesen makanan yang hot dilidah loh, super pedes. Nggak mau coba milih menunya dulu?" ragu Iqbal sambil menyodorkan menu ke arah Yulia untuk memperlihatkan menu yang dia pilih.

"Iyaaa Bal bener. Samain aja aih"

"Hmmmmm.. okedeh kalo gitu"

Makanan serta minuman yang terasa kuat dilidah kini menjadi hambar. Aku mempercepat pola gerakan antara tangan dan mulut untuk segera menghabiskan makanan. Pikirku, percuma saja berusaha menikmati hidangan dengan cara apapun semua tak akan terasa.

Kecanggungan dan keheningan semakin menyapa aku dan Bintang. Lidah pun kelu untuk mengucapkan berbagai kata. Sorotan mata yang bertemu kesekian kalinya sudah jelas mewakilkan dan menjelaskan apa yang sedang terjadi.

"Selesai dari sini mau kemana lagi?" tanyaku seraya Bintang dan para lelaki beranjak dari kursi menuju kasir untuk membayar yang telah dipesan.

"Nggak kemana - kemana, langsung pulang aja kayaknya Vi" jawab Yulia sambil mengalihkan pandangan ke arah Lina.

"Iya gue juga" singkat Lina.

"Kalian berdua kenapa sih sama gue? dari pertama dateng kayaknya jutek banget" cemasku melihat Lina dan Yulia secara bergantian.

"Kita berdua nggak habis pikir ya sama lo Vi. Lo kenapa jadian sama Bintang sih? Kita berdua kan udah pernah bilang ke elo. Kita juga udah nyaranin elo. Apa saran dari kita - kita kurang jelas? Mesti gue jelasin lagi?" papar Lina sambil menghembuskan nafas untuk coba menenangkan diri.

"Kita bukannya benci sama lo Vian. Kita cuma sebel aja sama sikap Bintang dari awal. Keciri banget dia itu orang yang munafik dan pasti ada sesuatu yang dia incer dari elo. Entah itu apa gue nggak tau. Tapi yang pasti penilaian kita berdua begitu Vi, karena kita udah lebih dulu banyak pengalaman dan khatam tentang cowok - cowok macem Bintang.

Yulia terdiam sesaat dan meraih tanganku berusaha untuk memberi pengertian atas kecanggungan yang sedang terjadi.

"Gue termasuk Lina nggak mau suatu saat lo dikecewain sama Bintang. Kita berdua sayang sama lo layaknya adik kita sendiri" lanjutnya.

"Tapi semua balik lagi sama lo Vi. Intinya gue sama Yulia udah ngingetin dari awal. Semoga nanti lo nggak nyesel ke depannya. Semoga kalian baik - baik aja. Maaf kalo kita berdua bikin hangout kali ini jadi nggak seru. Kita cuma khawatir sama elo Vian" Lina mengulurkan tangannya, turut menggenggam tanganku dan Yulia.

"Gue nggak tau harus ngomong apa sama kalian. Maaf ya gue udah jadi sumber dari semua kekacauan ini. Makasih kalian berdua udah sebegininya perhatian sama gue. Semoga semuanya baik - baik aja. Semoga Bintang bukan orang yang munafik dan lebih menjaga sikapnya dengan siapapun, terlebih dengan kalian semua. Next hangout jangan kayak gini lagi yaa...."

"Aamiin allahumma aamiin"

"Yaudah pulang yuk, mereka udah kelar bayar tuh" ajak Yulia sambil menengok ke arah kasir.

Serempak kami bertiga bangun dan beranjak meninggalkan kursi yang sedari tadi menyelimuti keheningan diantara semuanya.

****

"Yang"

"Kenapa?" Bintang sedikit menoleh dan balik memandang ke arah depan untuk memfokuskan diri mengendari motor yang membawa kami pulang.

"Kamu kalo lagi sama temen - temen aku bisa nggak jangan acuh?"

"Kenapa yang? suaranya kerasan dikit nggak kedengeraann.. "

Aku meninggikan volume suara 2x lipat dari sebelumnya "Huuuffttt... kamu nanti kalo aku ajak main lagi bareng temenku, jangan diem aja ya"

"Ya gimana? aku malu kalo banyak omong sama temen kamu yang"

"Nggak apa - apa, selow aja sama temen aku. Jangan kayak gitu lagi pokoknya aku nggak suka. Dari awal kamu ketemu sama mereka, kamu tuh selalu kaya gitu. Bukan hal yang wajar udah ketemu berkali - kali tapi masih acuh, kalo bukan dari diri sendiri yang nggak niat buat ngobrol!!" jawabku sedikit ketus dan menekan.

Bintang menyelipkan tangannya ke belakang punggung untuk meraih tanganku "Hmmmmmm.. iya deh iya. Jangan purik lagi dong. Udah pegangan kenapa nanti jatoh lagi aku kebutin dikit"

"Yaudah jangan ngebut makanya!"

"Udah lemesin tangannya. Sini ah... susah amat kamu nih yang kalo lagi purik!" Bintang menarik tanganku lebih keras ke depan untuk melingkarkan pada pinggangnya.

Aku mendekati wajah Bintang dari samping dengan ekspresi yang kurang sedap untuk dilihat "Janji dulu jangan kayak gitu!"

"Iyaaa iyaaa iyaaa... Udah puas?? Jangan ngambek lagi" Bintang menatapku sekilas dan berusaha menenangkan dengan mengelus punggung tanganku yang sedang melingkar dipinggangnya.

"Yaudah kalo gitu" seraya merebahkan kepalaku dibahu kiri Bintang.

****

Sesampai dirumah,

"Aku masuk dulu ya, kamu hati - hati pulangnya"

"Iyaa, masuk gih udah malem. Tuh mamah kamu kayaknya lagi ngeliat kita"
aku menoleh ke arah belakang. Melihat gerakan dibalik gorden jendela yang sudah jelas itu pasti mamah.

"Yaudah bye" aku membalikkan badan untuk meninggalkan Bintang dan Bintang pun berlalu.

"Sama siapa Vi?" celetuk mamah.

"Sama temen mah" jawabku ragu karena sejujurnya aku belum siap untuk mengenalkan sosok Bintang padanya.

"Kirain penggantinya Rizki. Jauh banget sama si Rizki kalo kamu sama dia. Yaudah kunci pintunya jangan lupa" beranjak pergi menuju kamar.
.
.
"Waduuuhhh.. Belum dikenalin udah kode keras aja. Ampuunn dahh.. semoga besok - besok mamah berubah pikiran dan baik - baik aja" benakku.

ASARIGNA (On Progress)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang