Waalaikumsalam Kapten #Part1

8.4K 194 15
                                    

"Tak ada yang salah dengan tempat kumuh itu kak" Batinnya berusaha mengelak, sorot matanya senyap tampak menahan air mata yang akan menetes

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Tak ada yang salah dengan tempat kumuh itu kak" Batinnya berusaha mengelak, sorot matanya senyap tampak menahan air mata yang akan menetes. Semesta sejenak membisu seakan paham bibir dibalik niqab itu telah berubah kaku. Ia berharap akan ada kata yang mampu menopang batinnya detik itu. "Pokoknya kakak tak setuju dengan keputusan mu. Tak seharusnya kamu di tempat itu Fa" suara kakaknya yang makin bertambah mengisi setiap sudut ruangan.


"Ini sudah menjadi pilihan Hanifa kak"

Oh Allah, aku tidak bermaksud membentak kakak ku" lirihnya menyesali perkataannya

"Kamu itu cerdas, sarjana muda, masih banyak tempat di kota ini yang cocok untuk mu. Tetta masih bisa membantu mu mencari pekerjaan yang bagus."

Apa? Sarjana? Apa hebatnya sarjana kak bila tak bisa bermanfaat untuk orang yang membutuhkan? "Tidak kak, Nifa tetap akan pergi" tutupnya sembari berlalu meninggalkan kakaknya sendirian di ruang tamu.


Hanifa tak mengerti mengapa kakaknya tidak setuju dengan keputusannya. Padahal ini bukan pertama kalinya ia berteman dengan lingkungan kumuh.

Setahun yang lalu ia pernah mengabdikan dirinya di The Forrest. Sebuah tempat kumuh yang terletak di Negara Adidaya, Amerika Serikat. Dengan senang hati ia menyalurkan ilmunya untuk anak-anak yang tak mampu bersekolah.

Ketertarikannya tentang hidup seakan terpatri dalam dirinya untuk menilik satu demi satu tempat terasing di dunia ini.

Terkadang ia tak mengerti dengan dunia. Bahkan di negara selevel Amerika Serikat, yang kekayaannya tidak diragukan lagi tapi mengapa The Forrest dapat tercipta? Yang tak tanggung-tanggung penghuninya mencapai ratusan orang.

"Ya Allah, begitu menakjubkan skenario Mu"

Lain di Amerika, lain pula di pulau Kalimantan.

Jika di negara orang saja dirinya mampu memberi perubahan, mengapa di negara sendiri ia mengalah?

Niatnya baik, ia hanya ingin membantu mereka yang benar-benar membutuhkan ilmunya. Hanifa sadar dunia seakan tidak adil bagi penghuni tempat kumuh itu.

Dan kali ini batinnya benar terasa memarah. Miris, seakan tercabik saat melihat wajah-wajah mereka yang "terbuang".

Kini ia berdiri di daerah yang orang sebut kumuh tapi itu adalah surga sederhana bagi penghuninya. Mata indah yang terbingkai niqab tak henti mengeja satu per satu deretan rumah berdinding dan beralaskan kardus yang berjejer di depannya.

Tidak! Itu bahkan tak layak disebut rumah. Hanya tempat berteduh dari teriknya matahari. Hujan?? Tampaknya hujan tak pernah diharapkan kedatangannya bagi mereka. Nyatanya hujan hanya akan membuat tempat berteduh mereka rata dengan tanah ditiap rintiknya.

Getir..

Andai saja dirinya tak cukup kuat menahan cobaan demi cobaan yang datang. Andai saja imannya tak cukup tebal menepis penolakan yang ia dapat mungkin sudah lama ia menyerah.

"Andai saja Umi masih hidup" lirihnya

Ia menunduk memperhatikan tangan kecil yang sedari tadi menggenggam tangannya. Seketika mata mereka beradu, jelas ada harapan di mata bening itu yang memaksanya untuk bertahan.

"Ilham sudah khatam Iqra nya?" katanya sambil mensejajarkan tubuhnya agar sama tinggi dengan Ilham.

Ilham mengangguk sambil tersenyum. Hanifa menggigit bibir di balik niqabnya, lagi-lagi batinnya terasa lirih.

Bersama sahabatnya Lulu, ia telah membulatkan tekad untuk mendirikan sebuah rumah belajar yang dinamainya Kolong Langit. Tempat kumuh di pulau Kalimantan yang sangat membutuhkan pendidikan. Tempat yang hanya berdinding triplex namun penuh dengan suka cita. Setidaknya anak-anak itu dapst merasakan nikmatnya rintik hujan tanpa harus merasa khawatir rumah belajarnya akan lebur.

Namun, satu hal yang lebih mengkhawatirkan dari pada hujan adalah penggusuran. Hanifa dan Lulu merasa khawatir jika sewaktu-waktu tempat itu akan di ratakan karena memang sudah tidak layak huni.

"Bismillah aja mbak, Allah masih bersama kita"

Hanifa menengadah berusaha mencari sumber suara..

Jangan lupa vomment 😊
Saling menghargai itu indah
Maafkan, typo dimana-mana🙏

Waalaikumsalam Kapten! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang