BAB 12: Rasa Simpatik
Clarisa masih terdiam. Tampak mencerna apa yang baru saja ditanyakan oleh Ryan. Wanita itu menoleh ke luar jendela. Memperhatikan orang-orang yang berlarian di tengah malam menantang hujan—mungkin malah menghindarinya.
"Jadi maksudnya gadis itu adalah gadis yang sama yang hampir bunuh kamu?" Clarisa menatap Ryan yang juga menatapnya. "Kamu jauhin dia, aku ga suka sama dia" Clarisa tidak mau berbincang lebih lama lagi.
Wanita itu dengan seenaknya pergi meninggalkan Ryan yang masih terdiam. Pria itu memejamkan matanya sesaat. Semakin dibuat bingung oleh setiap orang yang tau atau terlibat. Akhirnya Ryan bangkit dan berjalan keluar restoran.
Terhenti saat melihat hujan yang semakin deras.
"Akhh".Ryan memegang kepalanya. Entah mengapa terasa begitu pening sesaat lalu. Anehnya dia malah mendengar suara anak kecil yang menangis. Matanya dengan aneh juga menangkap sosok gadis yang berlari di tengah hujan sambil berusaha menunjukan jalan padanya.
Ryan menggeleng pelan—menerobos hujan mendatangi mobilnya. Nafasnya sedikit memburu untuk sesaat. "Entah kenapa gue ngerasa anak itu mirip Candy" Ryan memukul stirnya geram. Semakin sulit untuk dipahami, terlalu banyak lubang dalam teka-teki ini.
Ryan teringat sesuatu. Tas yang Candy tinggalkan sewaktu pertama kali ke rumahnya. Pria itu mencari dibagian belakang mobil dan menemukannya di bawah jok. Dengan sengaja Ryan membongkar isi tas Candy, mencari sesuatu yang mungkin akan berguna.
Ryan malah menemukan tempat obat dan jika diperhatikan itu tampak seperti obat penenang. Ryan memejamkan matanya sesaat. Apa yang sebenarnya terjadi sampai gadis kasar yang terlihat baik-baik saja bahkan mampu menjadi parasit demi keuntungan sendiri seperti Candy membutuhkan obat penenang semacam ini.
Jika memang dirinya terlibat maka Ryan harus menemukan dimana letak keterlibatannya. Agar dirinya tahu bagaimana dirinya bisa melupakan semua itu, agar ia tahu mengapa Salsa semarah itu saat tahu dirinya tidak mengingat apapun.
Agar dirinya tahu, sosok Candy yang sebenarnya.
* * *
"Udah pulang?" Candy entah bagaimana tengah duduk sofa dengan tiang infus yang masih setia berada disampingnya. Tentu Caroline yang sudah akrab dengan Candy berada dalam pangkuan gadis itu—terlelap dengan nyaman. Caroline memang sosok kucing pemalas yang memiliki hobi bermalas-malasan.
"Black udah makan banyak, pantes aja badanya sebesar ini" Candy tampak mengelus lembut bulu Caroline dengan tangannya. Ryan menatap Candy—ikut duduk di sofa. "Lo main ujan-ujanan?" Candy menyentuh rambut Ryan yang basah secara refleks.
"Gue pengen nanya dari kemarin. Kenapa cara ngomong lo beda lagi?" Candy tampak berpikir dan mengangguk setuju. "Awalnya ga sengaja ga sopan lagi sama lo. Cuma kalo dipikir-pikir gue sopan sama lo pun lo ga tergoda kan? Jadi percuma, apalagi sekarang kan gue lagi cuti jadi gue bisa bebas dong" Ryan mendengarkan meski tampak lebih fokus menatap Candy.
Sebenarnya ada hal lain yang ingin pria itu tanyakan. Namun, entah bagaimana justru pertanyaan tidak berguna seperti ini yang lolos dari bibirnya.
Candy memiringkan kepalanya, tampak bingung dengan tingkah Ryan. "Oh iya gue tadi keliling penthouse lo dan disini cuma kamar yang gue tidurin semalem yang ada kasurnya. Selebihnya ruang kerja, ruang perpustakaan, ruang baju dan sepatu lo sama terakhir ruang main Black". Ryan masih memperhatikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Barbie's Bodyguard
Teen Fiction"Kalo bego mah bego ajah. Ga usah sok pinter sampe manfaatin orang sana-sini. Dasar sampah" Candy menoleh, murka akan setiap kalimat yang dilontarkan untuknya. Candy menatap Ryan intens, mendekat lalu berjinjit dan menarik kera baju Ryan. Mencium bi...