Akhir Pengkhianatan

19.7K 797 49
                                    

Seruni tergugu, seperti pesakitan. Diam di sofa kecil, menatap keramik putih yang terlihat kontras dengan kaos kaki hitam yang dia pakai. Di depannya, duduk seorang perempuan yang berusia lima tahun lebih muda darinya.

"Aku minta maaf, Mbak Nela ... aku minta maaf ...." Dia memanggil perempuan itu 'mbak', karena walau bagaimana pun, wanita yang berdiri di hadapannya adalah istri pertama suaminya.

"Aku tidak bermaksud mengambil Kang Adam, apalagi merebutnya ... sumpah Demi Allah ...," ucapnya lagi. Rasa sesak yang menyiksa dada, membuncah siap meledakkan dirinya.

"Sudah berapa lama?" Perempuan itu bertanya dengan suara parau dan bergetar, penuh amarah. Seruni semakin menundukkan kepalanya dalam-dalam.

"Dua puluh delapan tahun ...." Terbata diucap lamanya status 'istri muda' yang dia sandang.

"Ya Allah, selama itu, dan aku tidak tahu ...?" Nela berucap. Tampak syok mendengar penjelasan madunya. Nanar dia menatap ke arah Seruni.

"Pintar kalian menutupi semuanya!" Wajahnya memerah dengan mata menyalak, seakan siap menerkam.

Hati Seruni menciut seketika. Ketakutan menderanya hebat. Bukan hanya takut, tapi sakit. Walau sesungguhnya, dialah yang sudah membuat Nela lebih sakit lagi.

Ditariknya salah satu ujung hijabnya. Pelan, dia mengusap airmata yang terus mengalir.

"Kalau Mbak Nela menghendaki perpisahan, saya siap Mbak. Walau bagaimana pun, saya salah," ujarnya menahan perih yang menusuk hingga ke relung hati. Bahunya terguncang hebat. Isaknya terdengar begitu pilu.

"Kalian punya anak?"
Nela masih menatap tajam, tanpa jeda. Siap mengulitinya tak bersisa.

Seruni menggeleng, lemah.

"Rumah ini, perabotannya, juga mobil yang terparkir di luar, Bang Adam yang beli?" Ketus Nela mencecar madunya.

Seruni mengangguk, pelan.

"Apalagi yang sudah kamu ambil dari suami saya?" Suara Nela bergetar penuh amarah.
Seruni terhenyak mendengar pertanyaan Nela. Sejenak kepalanya menengadah, menatap Nela yang berdiri tegak di hadapannya.

"Saya tidak bermaksud mengambil apapun, Mbak ... saya sadar, tidak ada hak ...."

"Munafik! Kalau memang sadar tidak berhak, kenapa kamu menggoda suamiku? Dan kalau bukan karena harta, apa yang kamu cari?" Nela menyela, semakin tenggelam dalam lautan emosi.

"Semua tidak seperti yang Mbak bayangkan ...." Seruni terisak lagi, kepalanya menunduk semakin dalam.

"Terus apa? Kita sesama perempuan, tapi kamu ...."

"Hentikan, Ma!" Tiba-tiba sebuah suara bariton berseru tertahan.

Adam!

Berdiri di depan pintu, menatap kedua istrinya nanar. Melangkah gagah, sesudah mengucap salam.

Nela menatap tajam lelaki yang sudah tiga puluh tahun bersamanya itu, sementara Seruni hanya menunduk.

"Kalau pun ada yang harus di salahkan, itu adalah aku." Suara Adam bergetar.

"Kenapa, Pa!?" Nela berseru penuh amarah. Adam menarik napas panjang. Ditatapnya Nela tajam.

"Karena aku yang memaksanya menikah," tegas Adam. Matanya sendu menatap Seruni yang tampak canggung dengan situasi yang ada.

"Angkat kepalamu, Runi. Status kalian di sini, sama-sama istriku. Dan aku, mencintai kalian berdua." Adam bergetar. Setitik airmata turun, tanpa bisa dia tahan.

Nela terhenyak.
Belum pernah dia melihat suaminya begitu rapuh seperti sekarang. Di matanya, Adam lelaki yang kuat, yang selalu bisa dia jadikan sandaran.

"Papa ...." hanya itu kata yang sanggup dia ucap, pelan. Menatap Adam tak percaya.

Tergopoh Seruni mengambil segelas air, lalu diletakkan di atas meja, dekat Adam berdiri.

"Di minum dulu, Kang," ucapnya pelan, yang hanya ditanggapi sebuah anggukan.

"Aku mengenalnya sejak lama. Saat masih kuliah dulu. Sewaktu kita masih pacaran," terang Adam pelan.

"Tapi kami menikah, dua tahun sesudah pernikahan kita," lanjutnya lagi. Pandangannya tetap tertuju ke arah Nela.

"Kalau kamu bertanya 'kenapa' ... aku juga tak tahu." Adam menghela napas.

"Yang aku tahu, aku tidak akan sanggup kehilangan ... bahkan jika pun hanya salah satu dari kalian." Lirih suaranya, hampir tak terdengar.

"Bagiku, kamu duniaku. Tempatku tertawa, tempat aku berpetualang, berjuang dengan segala liku kehidupan kita." Lekat di tatapnya Nela syahdu.

"Sedangkan Runi, seperti tempat untuk aku pulang. Tempat berkeluh kesah, mencari kenyamanan dan ketenangan di saat aku hilang pegangan." Adam menatap Seruni sendu.

"Dengan kata lain, kamu mau bilang kalau aku tidak memberimu kenyamanan?" Nela bergetar, marah. Harga dirinya begitu terkoyak. Bagaimana mungkin, lelaki yang hidup bersamanya selama tiga puluh tahun, memberinya tiga orang anak, satu orang cucu, mencari kenyamanan di dalam pelukan wanita lain?

Nela tergugu. Rasa sakit dan amarah, menguras seluruh tenaganya. Berkali, dia mengusap dadanya, rasa sesak begitu hebat menderanya.

"Ceraikan aku, Bang!" Suara Nela lantang. Dengan mata menyalak, menyiratkan emosi yang memuncak.

Adam terhenyak. Bibirnya bergetar, dengan tangan terkepal. Emosi mulai menguasai. Siap keluar tanpa ampun.

"Istigfar, Mbak ...." Seruni berkata pelan. "Kalau pun ada yang harus mundur, itu saya. Bukan Mbak," tegasnya. Menatap Nela dengan segala keberanian yang ada.

"Dasar munafik!" seru Nela lantang. Balik ditatapnya Seruni, tajam.

Seruni terhenyak. Sadar akan posisinya, dia pun kembali tertunduk.

"Kalau kamu sadar, kenapa tidak mundur dari dulu, sebelum aku tahu!" Suara Nela semakin naik.

Seruni tergugu. Berkali-kali diucapnya maaf.

"Cukup!" Adam berseru, tegas. "Aku sudah bilang, Nela, Runi tidak salah. Aku yang salah."
Kembali dia menegaskan.

Matanya lekat menatap istri pertamanya, sendu.
Sementara Nela mulai terisak. Emosi semakin berkuasa, hatinya tidak bisa terima, kalau suaminya lebih membela perempuan laknat yang sudah merebut cinta suaminya.

"Ma ... Papa tidak bermaksud membela Runi,' suara Adam melembut. "Kalau Mama pikir cinta Papa sudah terbagi, Mama salah ... karena Papa mencintai kalian dengan rasa dan cinta yang berbeda ...," lanjutnya lagi.

"Kapan perhatian dan kasih sayang Papa berkurang? Kapan Mama ditinggalkan sendirian?" Suara Adam masih tetap lembut. Pelan diraihnya tangan Nela. Diremasnya lembut, mencoba memberi ketenangan.

"Runi tidak sejahat itu, Ma. Andai kamu tahu ...," Adam berujar semakin pelan dan lirih.
Nela larut, emosi yang tadi begitu membuncah, mulai sedikit mereda. Dia menatap lekat tangan kekar Adam yang menggenggam jemarinya erat.

"Setidaknya, beri aku alasan ... satu saja ... yang bisa membuatku menerima semua ini ...," lirih Nela berucap. Diangkatnya kepala, menatap belahan jiwanya sendu.

"Aku akan mencoba menceritakannya, Ma ... setelah kamu tenang." Adam balik menatap sendu wajah istri pertamanya. Lembut di usapnya pipi Nela penuh kasih.

Sejenak, mereka lupa, di ruangan itu, ada orang lain yang terisak.

MAKAN SIANG TERAKHIR  (Sudah TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang