Awal Pertemuan

11.8K 619 7
                                    

Bukk!

Seruni terlonjak, kaget. Suara dentuman keras tertangkap jelas di telinga. Tergopoh, berlari keluar dengan tubuh masih berbalut mukena. Sesaat ketika pintu terbuka, dia tercekat. Begitu sepi, gelap dan dingin. Rasa takut menderanya. Berbagai tanya pun beterbangan di kepala.

Bagaimana kalau ada orang jahat yang berniat merampok?

Namun, kalau pun ada perampok, kenapa harus menyambangi rumahnya yang sudah jelas hanya gubuk reot? Sementara di sekelilingnya, ada rumah-rumah megah berdiri.

"Bismillah ...." diucapnya lirih.

Lalu pelan, dilangkahkannya kaki keluar dengan hati-hati. Sedikit menggigil, dia menggulung mukenanya ke tubuh. Tidak ada siapa-siapa. Sejauh mata memandang, hanya pekat. Sejenak setelah yakin tidak ada siapa pun, Seruni membalikkan tubuhnya, bersiap masuk kembali. Tepat ketika pintu akan ditutup, sebuah erangan keras tertangkap telinganya.

Seakan tak yakin dengan pendengarannya, Seruni kembali menutup pintu, berharap kalau yang dia dengar hanyalah suara derit pintu rumah reotnya. Namun, kakinya mulai melangkah, suara itu kembali terdengar, jelas.

"Nnghh ... to-long ...." Terbata, suara orang minta tolong. Suasana malam yang sepi, membuatnya mendengar dengan jelas. Sesaat tubuh Seruni menegang. Suara itu begitu dekat. Ketakutan kembali menyergapnya.

"Ku-mohon ... tolong aku ...."

Ya, jelas sekali. Seakan berasal dari balik pintu. Tersentak, Seruni segera membalikkan kembali badannya, tergopoh membuka pintu. Lalu ... Bruk! sebuah tubuh tinggi besar, menubruknya.

"Astagfirullah!" Dia terpekik, dengan tubuh melorot ke bawah, bersamaan dengan ambruknya tubuh tinggi besar tadi.

*******

"Kejadian perkelahian itu?" Nela menatap Adam lekat. Sebuah anggukan kecil diterimanya.

"Jadi, itu ... dia?"

"Iya." Kembali Adam mengangguk.

Nela tertegun. Diingatnya kembali saat-saat itu.
"Jadi dimulai dari saat itu?."

"Tidak, itu hanya awal pertemuan kami." Adam tertunduk. Sebutir air bening jatuh di sudut matanya. Sementara Seruni, semakin tenggelam dalam isaknya.

Pelan, Nela mengangkat wajah, menatap suaminya tajam dengan mata berlinang.
"Kenapa Papa tidak pernah cerita?"

"Papa cerita, bahkan Rendy mencarinya. Tapi dia menghilang."
Adam terdiam, menghela napasnya berat. Menoleh ke arah Seruni dengan matanya yang nanar.

******

Matahari sudah semakin naik, bahkan di luar pun suara orang lalu lalang sudah terdengar. Namun, lelaki tinggi besar yang tadi malam datang ke gubuknya, masih saja tak sadarkan diri.

Rasa takut kembali singgah di hati Seruni. Berkali, dicobanya membangunkan lelaki itu, akan tetapi tetap saja diam tak bergerak. Hanya gerakan pelan dari dadanya yang membuat dia yakin, masih ada kehidupan di tubuh tamu tak diundangnya.

"Biarkan aku di sini sebentar saja. Jangan lapor polisi. Kumohon." Pinta laki-laki itu tadi malam, sesaat sebelum pingsan. Dengan susah payah, Seruni mengangkat tubuh berat itu ke atas dipan, sendirian.

"Bagaimana Uni, masih belum sadar juga?" Seorang perempuan diambang usia tiga puluh, duduk di depan depan. "Tidak ada tanda pengenal sama sekali?" tanyanya lagi. Seruni hanya menggelengkan kepalanya.

"Ceuceu mau lapor ke RT. Terus ke polisi." Perempuan itu langsung berdiri. Dan melangkah pergi.
Sesaat kemudian, sebuah erangan terdengar.

"Air ... aku ha-us." Lelaki itu menggerakkan kepala, terbatuk-batuk kecil.

Tergopoh, Seruni mengambil air di meja. Menyodorkannya pelan. "Ini, minumlah ...."

Lelaki itu meneguknya pelan. Lalu mengedarkan pandangan keseluruh ruangan.

"Aku di mana?" tanyanya pelan.

"Di rumah saya. Kamu ...."

"Kamu siapa?"

"Saya Seruni. Kamu?"

Hening. Tak ada jawaban. Lelaki itu menatap Seruni lekat, dengan wajah terlihat lelah.

"Aku Adam," jawabnya dengan napas terengah, "Bisa aku minta tolong?"

Dia menggerakkan tangannya, meminta sesuatu.
Sejenak tersadar, Seruni langsung masuk ke kamarnya, dan ke luar dengan alat tulis di tangan.

"Tulislah." Disodorkannya buku juga pulpen ke tangan Adam. Gemetar, lelaki itu menulis sebaris angka dan menunjukkannya pada Seruni.

"Cari Rendy di nomor ini, suruh dia jemput aku." Lemah lelaki itu berucap, lalu perlahan matanya terpejam. Seruni mengangguk. Sejenak masuk ke kamarnya, dan berlalu pergi, meninggalkan Adam yang kelihatannya sudah kembali terlelap.

Di depan pintu, Seruni tertegun. Nanar mencari sosok perempuan yang tadi pergi. Bimbang, sempat terpikir untuk menyusul. Namun kemudian urung. Tergesa langkahnya menuju wartel di depan gang.

"Halo ...." Suara berat seorang laki-laki terdengar sesaat nomor diputar.

"Maaf, saya mencari Rendy." Gugup diucapnya, takut salah.

"Saya sendiri."

"Saya Seruni. Adam ada di rumah saya."

"Minta alamat, Mbak. Saya segera ke sana."

****

Bergegas, Seruni kembali ke rumah. Rasa khawatir menggelayuti hatinya. Sesaat pintu terbuka, dia tertegun. Danar, putranya yang baru berusia dua tahun, tampak duduk di pangkuan Adam. Memainkan perahu dari kertas.
Dia tersenyum. Pasti lelaki itu yang membuatkannya.

"Anak kamu?" Adam mengelus kepala Danar. "Tidak lama kamu pergi, dia bangun dan nangis," lanjutnya seraya meringis, menahan sakit. Gemetar, dia mengangkat Danar, memberikannya ke Seruni.

"Namanya Danar." Seruni berbisik lirih. Meraih Danar dari tangan Adam.

"Berapa tahun?"

"Dua."

"Ayahnya?"

Seruni menggeleng pelan seraya mencium puncak kepala putranya. "Dia yatim."

Adam terhenyak, "Maaf ...." ucapnya pelan.

Hening, mereka terdiam. Sama-sama tenggelam dengan pikirannya sendiri. Sampai sebuah ketukan halus terdengar di pintu.

"Di mana dia?" Seorang lelaki tampan, tak terlalu tinghi, muncul. Jaket kulit hitam yang dikenakannya, membuat penampilannya terlihat seperti seorang polisi yang menyamar. Seruni mundur selangkah. Di pandanginya lelaki itu, heran.

"Aku Rendy, temannya Adam."

"Oh ...." Seruni melangkah mundur lagi, memberi akses yang lebih luas untuk masuk.

"Bro ... Kamu tidak apa-apa?" Sesaat mereka berpelukan.

"Bawa aku pergi dari sini." Adam berkata pelan. Rendy mengangguk. Lalu bergegas memapahnya keluar.

"Runi, terima kasih, aku pasti kembali," ucapnya seraya mengusap kepala Danar pelan. Seruni hanya mengangguk.

Sesaat sosok Rendy dan Adam menghilang di belokan, tiba-tiba ada suara memekakkan telinga terdengar.

"Hey, perempuan murahan! Pergi kamu dari sini, dasar jal*ng! Berani kamu memasukkan laki-laki ke rumah, padahal belum seratus hari kematian anakku!" Seruni tersentak. Di hadapannya, berdiri seorang wanita bertubuh tinggi besar, menunjuknya dengan wajah dipenuhi amarah.

"Ibu ...." Seruni berucap lirih. Tubuhnya gemetar. Ketakutan menyergapnya. Dipeluknya Danar erat-erat. Airmata mulai jatuh dari netranya.

****

Votenya donk😊

MAKAN SIANG TERAKHIR  (Sudah TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang