Nasihat

6.3K 444 25
                                    


'Tidak bolehkah aku egois?'

Pertanyaan itu terus menggema di kepala. Walau sebenarnya seluruh sisi hati terus meminta mengalah. Melupakan perasaan juga ego.

"Berikan dia contoh, Kang," suara itu tiba-tiba kembali terdengar, pelan. "Seorang perempuan, jika dicintai, dia akan membalas, lebih mencintai. Tunjukkan kalau Akang menyayanginya. Berikan perhatian. Walau sekecil apapun."

Adam menghela napas pelan.

"Bukankah sejatinya cinta itu, keikhlasan? Tanpa meminta, dia sanggup memberi." Seruni, perempuan bertubuh kecil itu, selalu dan selalu mampu membuatnya mengerti.

Adam berdiri di depan pintu. Menatap Nela yang tampak tenggelam dalam lamunan. Sesaat setelah menyimpan nampan berisi sarapan di nakas, dia berjalan pelan, menghampiri istrinya.

"Di luar dingin, masuklah," ucapnya seraya jongkok di hadapan Nela. Membetulkan letak selimut yang sedikit merosot di pundak istrinya.

"Aku tidak mau hamil lagi." Nela berbisik pelan. Ada bulir  bening menggantung di sudut matanya. Adam menghela napas, pelan. Pikirannya lelah. Sesaat dia menunduk, lalu mengikuti arah pandangan istrinya.

Tampak di sudut taman, Cindy berlari-lari kecil diikuti Mbak Ina, pengasuhnya.

"Anak itu rezeki. Kita tidak boleh menyia-nyiakannya," suara Seruni kembali terngiang. Adam tersenyum kecil,  Menatap Nela sendu.

"Dia anak kita. Rezeki yang Tuhan beri untuk kita. Aku mohon, jagalah. Demi aku." Adam menyibak anak rambut yang jatuh tak beraturan di kening Nela. Perempuan cantik itu menatapnya lekat.

"Aku lelah, Bang," bisik Nela pelan. Bulir bening yang tadi menggantung, sekarang mulai turun tak tertahan.

Adam tersenyum menatap wajah cantik di hadapannya. Pelan tangannya mengulur, mengusap airmata di pipi istrinya.

"Jangan terlalu banyak pikiran, Nel. Ingat anak di kandunganmu. Makan ya, aku suapin."

Nela tertegun, menatap suaminya dengan tatapan tak percaya. Ada yang berubah, pada sikap Adam. Selama beberapa hari ini, perhatian juga kasih sayangnya terlihat tulus. Nela tertegun. Semua terasa begitu hangat dan nyaman.

Seminggu sudah mereka menghabiskan waktu di Vila keluarga Nela di Bogor. Tak ada sedikit pun kabar yang Adam dengar tentang Seruni. Entah kemana dia harus bertanya. Bahkan Rendy yang datang kemarin sore, enggan menjawab pertanyaannya.

"Seruni hanya ingin kamu fokus dengan kesehatan Nela," jawabnya tegas.

Padahal sudah jelas, kondisi Nela perlahan beranjak pulih. Sejak dua hari lalu, perempuan cantik itu mulai keluar kamar. Sekedar duduk di teras memperhatikan Cindy yang sedang bermain di halaman atau berjalan-jalan di taman selepas mandi, dan walau pun hanya sedikit, dia mulai bisa menelan makanan.

"Tolong jaga dia, Ren. Aku khawatir," ucap Adam sesaat sebelum Rendy pamit keesokan pagi. Sahabatnya itu hanya menganggguk pelan, lalu menepuk bahunya.

"Dia aman, Dam. Kamu fokus jaga istrimu."

******

Hari ke sepuluh tanpa bertemu Seruni. Adam tersiksa. Sebuah kata bernama 'rindu' mencengkram erat hatinya. Menyisakan sakit tak terperi. Berkali, dia menahan diri, membelenggu kaki untuk berlari, menuju pujaan hati.

"Tehnya, Bang." Adam terperangah. Suara lembut Nela berpadu denting cangkir menyentuh meja kaca di sebelahnya melambungkan dia dari lamunan tentang Seruni.

"Ayo kita pulang," desah Nela manja. Duduk di pangkuan seraya menyandarkan kepala di bahunya. Adam tersenyum.

Apa ini yang dikatakan Seruni, wanita akan membalas lebih? Apa ini balasan yang diberikan Nela untuk sedikit  perhatiannya selama ini?

MAKAN SIANG TERAKHIR  (Sudah TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang