Memendam Rindu

9.2K 582 96
                                    

Senja di sebuah desa kecil di Yogya. Akhirnya Seruni kembali lagi ke sini. Rumah masa kecil yang dibeli dari salah satu adik angkatnya. Rumah yang di tempati Danar dan Dita, juga kedua buah hati mereka.

Kedatangan Nela tiga bulan lalu, perpisahannya dengan Adam, juga kepergiannya ke kota ini, semua seperti mimpi.
Seruni menarik napas pelan, mencoba membuang bayangan masa lalu yang terus berkelebat.

"Ibu, di luar dingin. Ayo, masuk." Suara Dita, menantunya, terdengar khawatir. Seruni tersenyum. Semua lamunannya pun buyar.

"Ibu ingin duduk dulu di sini, Nak. Rasanya sudah lama tidak menikmati secangkir teh hangat, sambil melihat gerimis," ucapnya lembut. Dita tersenyum.

"Baiklah, Bu. Dita masuk dulu. Ibu juga masuk kalau sudah mulai terasa dingin ya, Bu." Seruni mengangguk pelan.

Gerimis masih terus membasahi rerumputan, suara percikan air di halaman, laksana musik yang kembali melarutkan Seruni dalam lamunan. Bayangan demi bayangan masa lalu terus berkelebat dalam pikirannya. Ada perih yang tak terperi di hati.

Ingatannya kembali ke masa lalu, saat dia baru bisa bertemu lagi dengan Adam, setelah dua minggu terpisahkan jarak. Adam saat itu, harus menemani Nela istirahat di Vila mereka di Bogor.

"Mulai hari ini, aku makan siang di sini. Setiap hari."
Suara Adam hari  itu, terngiang di telinganya . Seruni tersenyum. Raut wajah Adam saat itu, seperti anak kecil yang baru saja bertemu ibunya, manja.

"Kamu masak untuk aku setiap hari ya, Runi."
Pinta lelaki bertubuh tinggi besar itu, sesaat setelah selesai menyantap makan siangnya.

Kembali, Seruni tersenyum. Dia ingat, bagaimana rindu yang membuncah saat itu, terhapuskan. Padahal, mereka hanya bertemu satu jam. Namun, bagi Seruni, itu salah satu saat  yang indah dalam hidupnya.

Pernah di satu hari, dia terlonjak kaget. Sebuah tangan memeluk pinggangnya erat, saat dia sedang asyik memasak sambal pete kesukaan Adam.

"Masak apa ini?" Suara berat itu berbisik pelan di telinganya.  "Yang masak, kok, lebih wangi dari yang dimasak?" Lanjutnya, tanpa melepaskan pelukan. Seruni tersipu malu.

Kesempatan mereka bertemu, memang hanya saat makan siang. Waktu satu sampai dua jam yang diisi dengan saling bercerita, berkeluh, bermanja dan bercanda. Banyak hal selalu Adam ceritakan. Mulai dari tingkah anak-anak, kesibukan Nela, sampai pekerjaan kantor. Seruni selalu setia mendengarkan. Hanya sesekali dia menimpali dan bertanya.

Adam yang penuh canda, dan Seruni yang selalu tersipu malu. Suasana yang membuat mereka saling merindu.

Terkadang, sesaat sebelum kembali ke kantor, Adam akan meminta dimasakkan sesuatu untuk makan siang besok. Wajahnya yang memelas, tak jarang membuat Seruni tertawa terbahak.

"Runi, aku kangen nasi goreng pete. Besok boleh kan sarapan di sini?" Tiba-tiba wajah manja Adam sewaktu merengek, terlihat lagi di pelupuk matanya.

Seruni tersenyum, perih. Ada sakit terasa ketika mengingat semua itu. Setitik bulir bening pun, turun pelan di pipinya.

Wajah rentanya semakin terlihat sedih. Dia ingat kembali saat-saat menjelang pernikahan. Keputusannya untuk mundur, juga kegigihan Adam mempertahankannya. "Aku berjanji tidak akan pernah menelantarkan anak dan isteriku, Runi."

Janji Adam yang membuatnya menangisi takdir. Perempuan mana yang ingin berbagi? Bahkan di posisinya sebagai perempuan kedua pun, dia tetap menginginkan Adam untuknya seorang. Andai Ceu Niah tidak ada di sisinya, mungkin Seruni tidak akan pernah kuat bertahan hingga bertahun lamanya.

"Kamu tidak punya hak meminta, Uni. Dia memang suamimu. Tapi, jangan karena keegoisanmu, dia menyakiti istri pertamanya!"

Selalu, setiap kali keinginan memiliki dan membersamai Adam begitu memuncak, dia mengingat kalimat itu.

MAKAN SIANG TERAKHIR  (Sudah TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang