Memaafkan dan Menerima?

7.6K 573 75
                                    


Bau antiseptik begitu kental di sini. Ruangan yang didominasi warna putih dengan kaca jendela besar menampilkan pemandangan taman di luarnya. Seruni menarik napas pelan. Debaran dalam dadanya terus bertambah seiring kaki melangkah.

Seorang perempuan berambut sebahu, tampak duduk di pinggir ranjang. Sontak Seruni menghentikan langkahnya, lalu dengan suara pelan berucap salam.

"Lho, Ibu sudah datang?" Perempuan tadi membalikkan badannya. Cantik. Wajahnya mengingatkan Seruni pada Nela, istri pertama suaminya.

"Papa sedang jalan-jalan di taman." Perempuan itu mendekat, lalu memeluknya. "Saya Cindy, Bu. Putri sulung Papa." Seruni tersentak. Sebuah senyum pun terukir di wajahnya.

"Kabar Ibu bagaimana? Perjalanannya, lancar?" cecarnya, disambut senyum di wajah Seruni. Pelan ditepuknya tangan Cindy.

"Alhamdulillah," ucapnya seraya tersenyum menatap wajah perempuan cantik di hadapannya. "Nak Cindy apa kabar?" tanya Seruni ragu. Cindy tersenyum.

"Alhamdulillah baik, Bu." Cindy menatapnya sendu. Lalu beranjak dari tempatnya duduk. "Sebentar, saya panggilan Papa. Sepertinya ...."

"Jangan!"

Seruni dengan cepat meraih tangan Cindy. Perempuan cantik berusia tiga puluhan itu pun menghentikan langkahnya.

"Bi-biar Ibu saja yang ke ... luar," ucap Seruni terbata-bata. Cindy pun kembali tersenyum, lalu mengangguk.

***

Seruni menatap seluruh taman. Hanya ada beberapa orang di sana. Namun, tak juga dia melihat Adam. Sesaat dia membalikkan tubuh, hendak kembali ke ruangan tadi, tiba-tiba ... "Aku tahu Mbak bakal datang."

Sontak tubuh Seruni menegang. Suara yang sangat dia kenal terdengar. Pelan dia menoleh ke arah suara.

Ya, itu Nela. Perempuan cantik yang telah dia khianati dan sakiti. Perempuan yang empat bulan lalu mendatangi rumahnya dan memporakporandakan mahligai rumah tangganya.

Sesaat, Seruni terperangah. Penampilan Nela tidak lagi seperti dulu saat dia datang empat bulan lalu. Rambutnya yang indah tampak tertutup sehelai jilbab warna hitam. Begitu kontras dengan kulit wajahnya yang putih. Memancarkan sisa kecantikan masa lalu.

Namun, yang membuat Seruni membelalakkan mata tak percaya, di hadapannya, Nela tampak duduk di atas kursi roda dengan tangan dipasangi selang infus.

***

"Apa pun yang terjadi, itu kehendak-Nya, Mbak." Suara serak Nela memecah kesunyian. Saat ini, mereka berdua duduk di salah satu bangku taman. Mata Nela yang indah tampak begitu sayu menatap kosong ke arah depan. Seruni tertunduk.

"Pertemuan kalian, pernikahan kami, pernikahan kalian, bahkan sakitku ... itu kehendak-Nya, Mbak." Perempuan cantik itu menghela napas pelan. Seruni menatapnya iba.

"Kabar yang saya terima, Kang Adam sakit. Ternyata, Mbak Nela yang sakit?" tanya Seruni. Air mata tampak menggantuk di netra sendunya. Nela tersenyum.

"Pola hidupku selama beberapa bulan ini memang kacau, Mbak. Jadi maag-nya kambuh," jawab Nela pelan.

"Saya minta maaf, sekali lagi, minta maaf." Seruni mulai tergugu. "Setiap hari, saya dirundung rasa bersalah. Bahkan, setelah jauh pun dari kalian, rasa bersalah itu semakin menyiksa. Itu sebabnya, saya datang ke sini ingin meminta maaf untuk terakhir kalinya." Isak Seruni

"Tidak ada yang salah. Apa pun yang pernah terjadi, itu takdir ... Mbak!" Nela meraih tangan Seruni dalam genggamannya. "Saat itu, aku dikuasai emosi, rasa cemburu, juga rasa tidak berguna sebagai istri. Namun, akhirnya aku sadar, tidak ada yang bisa disalahkan. Kita semua, hanya terjebak keadaan dan perasaan," lanjut Nela dengan wajah mulai berlinangan air mata.

MAKAN SIANG TERAKHIR  (Sudah TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang