Perasaan dan Kenyataan

6.4K 439 49
                                    

Adam berlari ke lobi. Namun tidak didapatinya Rendy di sana. Tiba-tiba, sesaat kakinya melangkah hendak meninggalkan ruangan besar itu, matanya menangkap sesosok tubuh kecil berbalut sweater hijau duduk memeluk seorang anak lelaki yang sangat dikenalnya. Pelan dia menghampiri sosok itu. Jauh di dalam hati, dia berdoa semoga firasatnya salah. Namun ketika semakin mendekat, hatinya semakin yakin.

"Runi," panggilnya pelan. Tangannya menyentuh pipi Seruni pelan.

Seruni tersentak. Membuka mata, lalu menatap lelaki di hadapannya heran. "Kenapa Kang Adam di sini?" bisiknya pelan.

"Dia di sini karena istrinya sakit." Rendy tiba-tiba datang entah dari mana. "Sebaiknya kamu fokus pada Nela, Dam. Dia butuh kamu." Mata Rendy menatap Adam tajam.

Adam berdiri, balik menatap Rendy dengan tatapan tak kalah tajam. Ada amarah terpancar di sana.

"Apa yang kamu mau, Ren?" tanyanya pelan, namun tegas.

"Tidak ada. Aku hanya mencoba mengingatkan, Nela sedang sakit." Sadar sahabatnya sedang diselimuti amarah, Rendy mencoba melembut.

"Ceritakan, apa yang terjadi di sini. Kenapa kalian berdua ada di sini?" tanyanya lagi dengan suara bergetar.

"Tidak berdua, Adam. Ceuceu di sini." Ceu Niah muncul di balik punggung Rendy. Adam mengernyit. Menatap Ceu Niah dengan tatapan penuh tanya.

"Bahkan Kang Nurdin ada di sini," ucap Ceu Niah pelan.

Adam terperangah. Menatap Seruni dan Rendy bergantian. "Orang yang kamu pukuli ...?" Rendy mengangguk.

Adam mengumpat kasar dengan penuh amarah. Berbalik ke arah Seruni yang gemetaran memeluk Danar.
"Kamu tidak apa-apa, Runi?" tanyanya khawatir. Seruni menggelengkan kepala.

"Di mana dia sekarang?" tanya Adam penuh amarah.

"Aku dan Runi sudah laporkan dia ke polisi. Kamu jangan khawatir." Rendy mencoba memenangkannya.

"Bagaimana kejadiannya?" cecar Adam seraya berlutut di depan Seruni, lembut meraih tangan perempuan itu.

"Saya akan ceritakan. Nanti, kalau istri Akang sembuh," ucap Seruni pelan. "Tolong, fokuslah pada keluarga Akang." Seruni memandang tangan yang sedang menggenggam jemarinya. Sejenak dia menengadahkan wajah, tersenyum menatap lelaki tinggi besar di hadapannya.

Adam mengelus pipi Seruni pelan lalu berdiri, "Aku bisa titip Runi sama kamu kan, Ren?" tanyanya pelan.

Rendy mengangguk, lalu menepuk bahu sahabatnya pelan. "Fokus dengan kesehatan Nela. Aku akan urus semuanya."

"Aku pun ingin dengar cerita dari kamu ...," suara Adam sedikit bergetar, matanya menatap Rendy tajam. "Sekarang, tolong antar Seruni dan Danar pulang."

Rendy mengangguk seraya mengajak Seruni, Danar dan Ceu Niah pulang. Adam hanya menatap mereka menghilang di balik pintu.

*****

Sesaat sampai di rumah, Ceu Niah pamit tidur membawa Danar. Tertinggal Seruni dan Rendy, duduk berhadapan di sofa depan, hanyut dalam pikiran masing-masing.

Lama mereka sama-sama terdiam. Sampai Seruni buka suara, "apa yang sebenarnya terjadi, Kang?"

Rendy menatap Seruni, heran dengan pertanyaan itu.
"Bukankah sudah jelas, laki-laki itu b*jing*n?" tanyanya pelan.

"Bukan Kang Nurdin yang saya tanyakan, tapi Kang Adam." Seruni menatap Rendy tajam.

Rendy menghela napas pelan. Menatap kosong ruangan yang tampak masih berantakan. "Tolong buatkan aku kopi, Runi," pintanya pelan.

Seruni bergegas ke dapur. Menjerang air dan menyiapkan kopi. Tak lama kemudian, aroma khas-nya pun menguar.

"Kita bicara di sini." Rendy tiba-tiba sudah berdiri di belakangnya. Seruni mengangguk pelan.

"Aku dulu sudah pernah bilang kalau mereka menikah karena Nela hamil?" Rendy menatap Seruni. Perempuan bertubuh mungil itu mengangguk, menatap balik Rendy dengan hati diliputi rasa penasaran.

"Sekarang ini pun, Nela sedang hamil ...." Randy berucap, seraya menghirup kopinya pelan. Seruni terperangah.

"Nela itu anak tunggal, sangat dimanja. Kehidupan berumah tangga tidak membuatnya dewasa. Terlalu banyak konflik dalam rumah tangga mereka. Sifat yang sama-sama keras, ditambah Adam yang egois." Rendy berhenti sebentar, menghela napasnya. "Nela yang terlalu menuntut perhatian, dan Adam yang tidak tahu cara menghadapinya."

Rendy kembali terdiam. Matanya menerawang, memandang kosong cangkir di tangannya. Sesaat dia menghela napas, memandang sendu perempuan di hadapannya.

"Aku hanya ingin dia menjadi suami yang baik untuk Nela, dan ayah yang baik untuk anak-anaknya."

"Dengan menjadikan saya istri keduanya?" ucap Seruni getir. Kepalanya menunduk, menyembunyikan bulir bening yang menggantung di sudut mata.

"Bukankah kamu mencintainya, Runi?" Rendy menatap Seruni lekat. Seruni tersenyum sinis mendengarnya. Sesaat dia mengangkat wajahnya, menatap Rendy tajam.

"Kang Rendy pikir, saya perempuan seperti apa? Apa saya terlihat seperti orang yang sanggup menghalalkan segala cara untuk mendapat keinginan saya? Apa Kang Rendy pikir, saya akan sanggup merebut kebahagiaan Nela?" cecar Seruni penuh amarah.

"Saya memang mencintai Kang Adam. Tapi bukan berarti saya perempuan murahan yang tega merebut dia dari istrinya," tegas Seruni, tak lagi menyembunyikan airmatanya.

"Lebih baik saya pergi, tak pernah bertemu lagi dengan Kang Adam, daripada jadi pengrusak rumah tangga orang!" Kali ini, suaranya bergetar dan meninggi, menandakan amarah yang memuncak. Rendy tertawa.

"Pergilah. Lalu kita lihat, dengan kepergian kamu, berapa lama rumah tangga mereka bertahan."

Seruni tersentak, mencoba mencerna kalimat yang baru saja dia dengar.

"Maksud Kang Rendy, apa?" tanyanya pelan. Matanya menatap Rendy penuh keheranan.

"Sudah aku bilang, kamu bukan perusak rumah tangga mereka, tapi justru kamulah yang bisa membuat Adam mempertahankan rumah tangganya." Rendy menatap Seruni tajam.

"Apa ...?"

"Kamu mencintai Adam, tapi Adam jauh lebih mencintai kamu," suara Rendy melembut. Seruni terperangah. Ada senyum sinis di wajahnya.

"Atas dasar apa, kebahagiaan Kang Adam ada di tangan saya?" Pelan, Seruni berucap. "Saya tahu diri. Kang Adam bagai langit yang bertabur bintang, dan disinari mentari. Saya ini hanya seperti rumput liar, yang berusaha bisa merasakan hangatnya sinar dari mentari."

Seruni menatap Rendy sendu. Airmata semakin menganak sungai di pipinya. Pelan dia beranjak dari kursi yang didudukinya. Dengan bibir bergetar dan suara serak, dia berbisik, "Sebaiknya saya pergi, Kang. Tempat saya bukan di sini."

"Apa kamu tidak mau melihat dia bahagia, Runi?" Rendy mencoba menghentikan langkah kaki Seruni. "Ubah dia. Jadikan dia suami yang baik. Buat dia jadi ayah yang baik. Ingat, cuma kamu yang dia dengar."

Seruni tidak peduli, dia terus melangkah menuju kamarnya.

"Kalau kamu tidak bisa melakukan ini karena perasaan cinta kamu, setidaknya, lakukan ini demi Adam ... atau, demi Nela ... atau, demi aku, Runi." Rendy terus mengejar langkahnya.

"Aku tidak mau Nela terluka ... aku tidak mau Mama Mira menangis. Aku mohon, Runi." Rendy menunduk, dengan bahu berguncang pelan. Ada isak tertahan di suaranya.

Seruni membalikkan tubuhnya, menghadap lelaki bertubuh sedang itu.

Rendy ... menangis?

MAKAN SIANG TERAKHIR  (Sudah TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang