4

45 10 0
                                    

•••

"LUNA..." teriak keras Natha. "Hah... syukurlah itu cuma mimpi" nafas Natha terdengar memburu, ia segera bangun dan mencari ponselnya, ditekannya nomor ponsel Luna dengan tangan yang gemetar.

"Halo Nat, lo gila ya telpon gue tengah malem gini, gue baru aja bisa tidur, gue capek baru pulang dari Surabaya." ucap Luna setengah sadar dengan suara serak khas bangun tidur.

"Lo baik-baik aja kan Lun, sekarang lo lagi dimana?" terdengar jelas nada panik sekaligus cemas dari suara Natha.

"Gue baik, sangat baik, lagi di kamar gue, dah lah Nat gue mau lanjut tidur, ganggu aja sih lo!" ucap Luna sewot. "Ada ada aja lo Nat, haem... baru juga bisa tidur." meletakkan ponselnya ke samping ranjang setelah sambungan telpon terputus dan kembali tidur.

"Syukurlah dia baik-baik aja, kenapa mimpi gue tadi kaya nyata banget sih?" mengusap rambutnya frustasi. "Kenapa akhir-akhir ini gue sering mimpiin Luna?" menggaruk kepalanya yang tak terasa gatal.

Pukul satu, pukul dua, pukul tiga, pukul empat, pukul lima Natha masih terlihat sama, dia tak bisa semenitpun untuk sekedar memejamkan matanya. Dengan rambut berantakan dan terdapat mata panda juga kantung mata yang membesar membuatnya terlihat menakutkan.
Suara ponsel membuat lamunannya tentang mimpi-mimpi yang dia alami akhir-akhir ini buyar.

"Ya Lun, gue udah bangun kenapa?" mengucek matanya yang terlihat memerah. "Ya tar gue kesitu, hemm..." melempar ponselnya keatas selimut bermotif papan catur.

Disisi lain. Sebelumnya suasana hati Luna tengah bahagia hingga tak biasanya jam lima pagi dia sudah rapi dengan seragam sekolah membalut tubuhnya dengan rambut ia biarkan tergerai.

"Halo... udah bangun, nanti berangkat sekolah bareng yuk, iya aku udah pulang ternyata cuma sehari doang, mau kan, oh gitu ya, ya udah gak papa kok, bye Dave." suasana hati Luna berubah seketika.

"Mungkin Dave memang harus nyiapin buat turnamen besok jadi pasti lagi sibuk, gak papa deh hari ini berangkat bareng Natha aja udah lama gak berangkat bareng dia." mencari nomor ponsel Natha.

"Halo Nat, lo udah bangun, nanti gue nebeng lo ya berangkat sekolah soalnya Dave gak bisa jemput nanti lo jemput kaya biasa aja, jangan telat!" meletakkan ponselnya ke dalam saku setelah selesai menelpon Natha.

Karena diluar masih terlihat gelap Luna pun memutuskan untuk membuat sarapan. Roti bakar dan segelas susu sebagai menu sarapan sehari-hari keluarga Luna. Di rumah Luna tak pernah memperkerjakan orang, mereka dilatih untuk bisa hidup mandiri tanpa dibantu orang lain untuk mengerjakan pekerjaan rumah karena tidak selamanya hidup mereka akan selalu diatas bisa saja besok mereka jatuh miskin.

"Wah anak mama rajin banget jam segini udah rapi, bikinin sarapan pula." ucap mamanya.

"Iya dong ma." tak lupa Luna mencium kedua pipi mamanya.

"Dah sini mama yang lanjutin, adek bangunin abang sana!" mengambil alih roti tawar yang Luna pegang.

"Siap kapten... berangkat..." bergegas menuju kamar Artur. Memasuki kamar Artur hal pertama yang bisa Luna lihat hanya hitam gelap dia segera mencari letak saklar di kamar Artur.

"Ya Tuhan ini kamar atau kapal pecah sih?" hanya bisa bengong saat melihat wujud kamar Artur. "Bang bangun, adek udah bikinin sarapan favorit abang tuh, buruan bangun..." mengguncang-guncangkan tubuh Artur.

"Five minute oke." semakin merapatkan tubuhnya pada selimut.

"Oh ya kalo gitu mau minum susu atau teh?" tersenyum licik.

"Susu boleh lebih cocok buat sarapan pagi." jawab Artur tanpa membuka matanya.

"Nih susu satu gayung!" menyirampak air kearah Artur yang langsung direspon omelan.

LUNATHA [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang