Darkness - 11

946 55 7
                                    

I'm your nightmare, babygirl.

•••

"Hani, istirahat nanti datanglah keruanganku."

Rangkaian kata itu terus saja terngiang-ngiang di dalam kepala Hani. Nama lengkapnya, Kang Hani. Saat ini, ia masih berstatus sebagai pelajar sekolah menengah atas. Gadis berambut ikal itu hanya bisa meremas rok sembari menatap nanar pintu besar berwarna kecoklatan yang didepannya tertulis 'Xiumin Kim—Matematika', pria yang menjabat sebagai guru pengajar sekaligus wali kelasnya.

Ini sudah yang ketiga kalinya ia mendapat panggilan oleh sang guru. Apa karena Hani masuk dalam jajaran murid ternakal dikelasnya? Tidak, tidak sama sekali. Malah Hani bisa dibilang merupakan murid pendiam yang tak banyak berbuat ulah didalam kelas. Tak pernah berceloteh kasar didepan guru maupun teman-temannya.

"Hani, ini sudah 2 bulan kau menunggak uang SPP."

"Ne, Ssaem."

Hani hanya bisa mengangguk pasrah sembari meremas buku-buku jarinya yang tersembunyi dibalik punggung mungilnya. Hani mengulum senyuman pahit. Uang, uang dan uang. Hanya kata itu yang selalu menghantui setiap tidurnya.

Sementara pria bermata monolid yang tengah duduk sembari menghayati tiap deret aksara yang tercetak di setiap lembar buku tebal yang ia baca. Setelah dirasa cukup, ia menutup rapat buku itu, menggeser buku itu hingga ke tepi meja dan mengalihkan pandangannya ke arah Hani.

"Kau tahu apa akibatnya jika dalam bulan ini kau masih belum membayar SPP, Hani?" Xiumin mengetuk-ngetuk jarinya di atas meja. Menunggu jawaban apa yang akan ia terima dari gadis itu.

"Ne, Ssaem." ya, Hani sudah tahu apa konsekuensinya jika ia masih menunggak uang sekolahnya. Apalagi kalau dikeluarkan dari sekolah. Hal yang sangat ia hindari seumur hidupnya. Ia tak mau perjuangannya selama ini sia-sia. Bekerja paruh waktu sembari mengenyang pendidikan di bangku sekolah. Waktu, tenaga, otak. Ia sudah mengorbankan semua yang ia miliki.

Tapi, apa daya. Satu-satunya orangtua yang ia miliki—ibunya—terbaring lemah di rumah sakit. Ayahnya sudah lama tiada. Dia sudah meninggal dunia saat Hani baru menginjak usia 6 tahun akibat kecelakaan di tempat kerja. Sepeninggal sang ayah, ibunya lah yang menjadi tulang punggung keluarga. Menghidupi dirinya dan adik laki-lakinya, Kang Jae Wan.

Tak tega melihat beban yang dipikul sang ibu begitu berat. Hani memutuskan untuk melamar pekerjaan paruh waktu sebagai pelayan di sebuah cafe. Beruntung, pemilik cafe tempat ia bekerja sangat murah hati. Dia mau menerima Hani yang masih berstatus sebagai siswa dan minim pengalaman.

Namun sekarang, perekonomian keluarganya semakin terpuruk. Ibunya terindikasi mengidap penyakit leukimia stadium 3. Sebulan yang lalu, ibunya sudah menjalani beberapa kali pengobatan. Tapi, semua usahanya belum membuahkan hasil. Uang yang selama ini mereka tabung dengan susah payah sudah habis tak bersisa hanya untuk membayar biaya rumah sakit.

Nasib ibu dan adiknya sekarang ada di dalam genggaman tangannya. Gajinya saja belum cukup untuk biaya hidup keluarganya. Untuk makan saja pas-pasan apalagi untuk membayar uang sekolahnya.

Hani sudah tak tahu lagi apa yang harus ia lakukan.

Xiumin bangkit dari singgasananya. Melenggangkan kakinya, mendekati raga gadis bermarga Kang yang terdiam kaku di seberang mejanya. Kedua mata Xiumin meredup saat melihat air muka Hani yang tampak begitu lelah. Dari balik kaca mata yang ia kenakan. Xiumin dapat dengan jelas melihat raut kesedihan yang berusaha Hani tutupi dari semua orang termasuk dari dirinya.

"Hani …" Hani tersentak pelan saat menyadari posisi sang guru telah berubah. Bukan lagi duduk di singgasananya. Sang guru sudah berdiri tegak di hadapannya. Hani menunduk dalam. Astaga, apa ia terlalu banyak melamun sampai-sampai ia tak menghiraukan eksistensi gurunya saat ini?

"Hani, angkat wajahmu." Hani mengangguk pasrah, ia mengangkat wajahnya, membalas tatapan sang guru yang kali ini entah mengapa tampak begitu berbeda. Bukan seperti sorot dingin yang selalu Minseok paparkan di dalam kelas.

"Aku tahu apa yang terjadi pada keluargamu."

"Ap-"

"Kau membutuhkan biaya untuk operasi ibumu, bukan?"

Hani mengatup mulutnya rapat-rapat. Keningnya mengkerut. Aneh. Darimana pria itu mengetahui masalah yang sedang ia hadapi. Seingat Hani, ia tak pernah menceritakan masalahnya kepada siapapun.

Lalu, bagaimana dia bisa tahu semua itu?

"Darimana Ssaem tahu semua itu?" Xiumin terkekeh pelan melihat ekspresi terkejut yang begitu kentara di wajah Hani. Bukan suatu perkara yang berat bagi Xiumin untuk mengorek segala hal tentang Hani. Hanya dengan segepok uang, ia dapat dengan mudah mendapatkan informasi penting dari salah satu rekannya yang bekerja sebagai detektif di badan kepolisian.

Masalah uang? Xiumin tak pernah mengkhawatirkan masalah itu. Ia sudah kaya dari lahir. Mendiang ayah dan ibunya mewariskan begitu banyak harta kekayaan padanya. Berbagai cabang restoran dan cafe telah ia bangun di beberapa sudut kota Seoul. Termasuk cafe tempat Hani bekerja.

"Kau tak perlu tahu semua itu. Yang jelas, aku ingin membantumu."

"Membantuku?" Xiumin mengangguk.

"Aku akan menanggung semua biaya perawatan ibumu. Ah, ya. Aku juga tak keberatan untuk melunasi biaya SPP mu hingga kau selesai nanti."

"Be-benarkah, Ssaem?" ucap Hani terbata-bata. Kedua matanya berbinar-binar saat mendengar tawaran sang guru yang terdengar begitu menggiurkan.

"Ya, semua itu benar. Tapi, dengan 1 syarat."

"Syarat? Syarat apa, Ssaem?"

Xiumin menarik sudut bibirnya. Ia menyeringai. Sedikit lagi, tinggal sejengkal lagi. Gadis itu akan masuk ke dalam perangkapnya.

Pria berusia seperempat abad itu membungkukkan sedikit tubuhnya, mensejajarkan wajahnya dengan wajah Hani sembari mengusap lembut pipi kanan gadis itu.

"Ssaem!" Hani memekik tertahan, nafasnya tercekat saat menerima remasan kasar dibagian bokongnya. Hani berusaha menghindar. Tapi, dengan sigap Xiumin menarik pinggang ramping Hani hingga menempel ke tubuhnya.

"It's easy, Hani."

Sorot mata Xiumin menggelap seiring waktu, bahkan tangannya mulai berani menjamah bagian-bagian pribadi yang tak seharusnya ia sentuh

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sorot mata Xiumin menggelap seiring waktu, bahkan tangannya mulai berani menjamah bagian-bagian pribadi yang tak seharusnya ia sentuh.

"Be my kitten."

.
.
.
.
.

END

Darkness ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang