Untuk Fajar

530 26 13
                                    

Ketika yang lain berlomba menjadi pengagum senja, aku berbeda. Bukan senja yang ku puja, melainkan fajar. Sinar menyilaukannya lebih menghangatkan. Meleburkan kebekuan akibat tersentuh dinginnya malam. Aku menunggu fajar, di setiap pagi yang malam hantarkan. Melihatnya merekah, membuat senyumku kembali cerah.

Setelah luka yang menggores dada, akhirnya aku menemukannya. Pertemuan tak disengaja, atau memang takdir yang sedang menjelma? Aku jatuh cinta setiap mataku beradu padanya. Ia mempesona. Lebih dari jingga yang dimiliki senja. Senyum menawan itu, sudah menjadi candu bagiku. Wajah tenang itu, menjelma menjadi hal yang paling ku rindu. Entah kapan, menatapmu dari jauh menjadi kebiasaan baruku kala itu. Suara merdumu, menjadi batas di penghujung rindu.

Tapi sayang, waktuku untuk menikmati itu harus usai. Begitu juga dengan waktu perjumpaan kita yang baru disemai. Ada rasa tidak rela, namun bukan kuasaku untuk berbuat apa-apa.

Senja kala itu, senja terakhir aku bisa puas memandangmu. Mataku hanya tertuju padamu. Sayang, aku yang tak bernyali ini harus puas menatap dari balik kaca tipis. Langkahnya masih tegas dan tenang seperti biasa. Mata teduh miliknya, tidak pernah absen dari wajah cerianya.

Tinggal menghitung waktu, kau dan aku terpisah. Rasanya baru kemarin aku menatapnya dalam resah. Beberapa kali kita dekat, namun hanya sebatas tempat. Bukan itu yang ku mau! Aku ingin berteriak keras, namun kita sudah berada pada batas. Berkali-kali aku ingin mendekat, tapi takdir selalu nekat menyekat. Atau apa karena aku yang tak pantas mendekat?

Sudah berhari-hari sejak pertemuan dan perpisahan itu. Asa yang ku semai tumbuh makin ramai. Hatiku dilanda nestapa. Ruang kosong ini, penuh dengan rindu yang beradu.

Kau tau, aku tetap tidak menanti senja untuk mengingatmu dan menulis bait-bait cerita tentang rindu. Aku tetap memilih fajar, agar aku bisa tegar dalam harap yang mustahil dikejar. Agar aku tidak ditarik sendu sang rindu hingga terbakar menjadi abu. Agar aku bisa bahagia, atas pagi yang melepas malam, atas rasa yang tak terbalas, atas cahaya yang menerpa hangat, dan atas rengkuhan angan yang fajar hantarkan.

Aku ingin kau tau, aku menunggu fajar dengan larik-larik puisi yang ku tebar. Dengan harapan, suatu saat nanti kau datang dengan senyum yang merekah lebar.

Bima Sakti, 2018.

Kita Dalam AksaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang