Yang Memandangmu dari Jauh

56 1 0
                                    

Dalam keramaian manusia yang baru saja selesai berdialog tentang pelajaran, aku terus saja mengedarkan pandangan, mencari keberadaan untuk menemukanmu, agar nalarku bisa tenang.

Dalam riuhnya teriakan dan obrolan manusia yang dihadiahi ketidakhadiran, aku masih saja melirik ruang-ruang padat, untuk menemukan satu titik yang tepat. Mengunciku untuk tetap menatap, mengajakku untuk terus melihat.

Padahal nyatanya, titik itu sedang menginjak rasa beraniku yang selalu saja sirna, kemana? Kemana ia ketika sempat memberikanku tempat untuk bersitatap, lalu bercengkrama seperti sudah akrab? Entah.

Setelah pergi, lagi-lagi aku harus melalui sisa hari bersama rasa takut. Takut pada hal yang fana, takut pada hal yang harusnya biasa-biasa saja, takut pada hal yang dulunya bagiku tidak ada artinya.

Padahal sebelumnya, bertukar sapa adalah hal yang biasa. Mengenal orang baru hampir tidak ada artinya. Atau perihal seperti jatuh hati, faktanya adalah hal fana.

Berulang kali kita bertemu juga saat jingga duduk di singgasana. Dengan kali yang sama, aku tertawa pada semesta. Kenapa bisa, rasa−semudah ini tumbuh pada dia yang hanya ku tau namanya? Dan tanggal lahir serta umurnya?

Kenapa juga, aku hanya bisa memandang bukan dari dekat, atau bersikap senang jika kabarmu baik dan sehat, atau mendo’akan langkah-langkah harimu dalam rapalan harap?

Adakah adil disini?

Apakah setiap harap tumbuh, hati yang harus patah?

Bima Sakti, 2019.

Kita Dalam AksaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang