Bulan Ke Tujuh

81 7 2
                                    

Tepat bulan ke tujuh, dan ini adalah ke tujuh kalinya aku kembali menapaki. Padang ilalang yang ditiup angin pagi hingga petang. Laut biru yang selalu pulang pada karang dan pantai. Langit megah yang setia membentang. Dan dermaga kayu yang sudah usang.

Memandangi laut selatan yang tenang, adalah rutinitasku sejak fajar membayang. Menghabiskan waku di dermaga, adalah kebiasaanku sejak kali pertama aku di sini dengannya.

Ada yang berkata, saat kita memberi, sejatinya kita sedang menerima.
Lalu, apakah ketika aku mencintai, aku sedang menerima cinta?

Aku tersenyum simpul. Nyatanya relativitas mengakar. Berpilin pada setiap takdir-takdir manusia.

Ada yang berkata, kebahagiaan ada dua, yang disadari saat itu juga, atau yang disadari ketika masanya telah sirna.

Dan aku baru menyadari. Ketika bulan ke tujuh datang menghampiri. Ia, adalah definisi bahagia saat itu juga.

Tidak ada guna menggunakab kata andai. Kata itu hanya memperjelas satu hal. Betapa lalainya manusia.

Angin bertiup kencang. Menerbangkan helaian rambut panjang yang ku ikat sembarang. Aku menutup mata lalu menikmatinya. Membayangkan kenangan-kanangan lama, yang ikut tertiup oleh angin yang menerpa.

Di ujung dermaga, aku mengayunkan kaki. Menciptakan riak kecil untuk mengisi sepi. Pandanganku tertuju pada bentangan horizon di selatan. Lalu beralih pada sisi dermaga yang kosong. Tepat di samping kiriku.

Sejak bulan pertama hingga ke enam, ia ada disini. Saat itu aku berpikir, ia begitu memahami. Menemaniku di tempat ini sejak fajar hingga senja beranjak pulang. Membiarkanku diam, memandang dan merapal harap ketika mata terbuka melihat.

Hingga bulan ke tujuh menyadarkan. Ia hanya mencoba mengerti, bukan memahami.

Suara teriakan darinya memutus nostalgia yang sedang ku proyeksikan. Dahulu, aku akan dengan senang hati menyambut dengan senyum mengembang. Namun sekarang, untuk menoleh pun aku merasa berat. Hanya senyum singkat yang ku bisa. Tawar tanpa rasa. Ketika melihatnya berdiri bersama seseorang lain. Memandang dengan penuh makna. Seolah mengatakan:

Jangan membuat kenangan yang suatu saat akan diratapi dan mari berbahagia saat itu juga.

Dan aku tau, hari ini aku telah kalah.

Bima Sakti, 2019.

Kita Dalam AksaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang