Kembali

93 6 1
                                    

Sore yang lengang di tempat yang harusnya tak pernah usai dari hiruk pikuk yang melintang. Aku berdiri tegap, berhadapan dengan gerbang usang yang pernah menjadi saksi kita yang senang membuat kegaduhan. Lalu melangkahkan kaki. Mendekat pada gugusan bangunan yang biasa kita jadikan tempat berkejaran. Dulu, tempat ini belum seteduh sekarang. Dulu, tempat ini belum semerindukan sekarang. Dan dulu, tempat ini belum bisa kita kenang.

Di koridor-koridor panjang ini kita menghabiskan waktu. Menapak langkah setiap pagi datang dan siang ketika pulang. Memutar langkah jika hujan turun menggenang. Berlarian. Saling meneriakkan nama dari penghujung jalan. Bersisian dan bercengkrama dibingkai tawa yang menggema. Mengeluarkan ledekan-ledekan tanpa makna yang tidak akan pernah menimbulkan kecewa.

Di ruang-ruang kelas ini kita merajut asa. Duduk terpisah bukan berarti kita tak berkisah. Saling melempar kertas. Ditegur guru saat sedang menerangkan di bagian depan ruang kelas. Kompak menguap ketika penjelasan guru sudah dirasa membosankan. Kompak menyulut ricuh saat kita bertentangan pendapat. Kompak meriakkan kata hore ketika bel pulang sekolah berdentang.

Di ruangan penuh rak dengan buku-buku ini kita pernah mencuri waktu untuk bercanda. Tangan kita berdua segera terangkat ketika guru meminta mengambil buku di sana. Kita selalu mengulur-ulur waktu. Berlari di koridor untuk mempercepat waktu. Lalu berlama-lama di sana untuk bercanda tanpa arah dan makna. Pernah satu dua kali, kita pergi dari kelas dan bersembunyi di sini. Aku ingat sekali, ada banyak alibi yang sudah kita rapalkan sejak menyusuri koridor sepi.

Di ruang berpiano ini kita pernah bernyanyi bersama. Satu-satunya kegiatan yang benar-benar kita cintai keberadaannya. Meleburkan euforia. Menjadi sumber bahagia. Merangkul jarak antara kita. Memeluk setiap masa yang kita isi bersama. Aku kadang memandangimu di sela-sela tawa. Setiap kali melakukannya, ku bisikkan terimakasih pada baiknya semesta.

Di aula megah ini kita saling berpisah bersama. Yang kita lakukan selama acara adalah diam tak bersuara. Lidahku kelu. Begitupun kamu. Kita tidak sanggup mengucapkan perpisahan untuk satu sama lain. Kamu tak sanggup mengucap sepatah kata. Sedang aku tak sanggup mengangkat kepala lalu membuka mata. Entah kenapa, saat itu menjadi hari terberat sejak pertama kali kita saling menyebut nama. Hari yang tidak ingin aku lewati bersama.

Aku selesai, menyusuri bekas jejak-jejak lama yang pernah kita buat dahulu. Mengingatkanku tentang waktu, yang selalu punya kuasa tanpa ragu. Ia memisah kita. Mengubah masa. Mengurai rasa. Mendatangkan asa, bahkan putus asa.

Tak pernah aku serindu ini dengan klise-klise kenangan lama yang pernah kita cipta. Entah karena sebab apa, aku berjalan menuju tempat kita pernah bersama.

Senyumku mengembang, ketika sudut senja sudah tepat pada cakrawala. Rasanya begitu abstrak. Sulit didefinisikan. Seperti ada lega dan rindu yang menyimpul hati.

Ku langkahkan kaki. Aku harus pergi. Sudah cukup memeluk sepi yang kini tak berperi. Mungkin suatu saat nanti, kita bisa kembali dan mengenang ini tanpa terkecuali.

Bima Sakti, 2019.

Kita Dalam AksaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang