Petrichor

85 5 1
                                    

Apa yang kamu suka perihal hujan? Datangnya yang membawa kembali kenangan? Atau dinginnya yang membuatmu butuh kehangatan?

Siang ini hujan datang, setelah musim kering lama bermukim. Menghapus debu-debu kering yang tertiup oleh angin. Menghanyutkan jelaga di ujung-ujung halte tempat biasa aku berada. Temunya dengan bumi menguarkan aroma yang melegenda. Petrichor namanya. Aroma hujan yang pulang ke rumah setelah tualang menjejak arah. Yang kutunggu dalam resah sejak musim hujan beranjak pisah. Pekat, dan biasanya aku akan tersenyum setelah menghirupnya lekat. Memabukkan, dan sukses menjadi candu di musim penghujan.

Lembaran buku bersampul biru mulai ku buka. Bertahun-tahun, setelah hanya mampu ku pandang dengan mata terkenang. Setelah hanya mampu memandangnya dengan pandangan yang selalu berakhir mengabur. Kali ini aku memutuskan untuk memaafkan. Memaafkan kegagalan-kegagalan yang selalu terulang. Memaafkan ketidaktegasanku untuk menentukan kenangan mana yang harus ku buat. Ah tidak, mungkin lebih pantas menyebutnya..kebodohanku.

Aku melewati lembaran-lembaran kusam yang sudah ku tulis sebelumnya. Lalu sekilas membaca tulisan-tulisan itu. Terbesit pertanyaan, "Apakah dulu aku bahagia?". Aku membuka lagi lembaran yang lain. Pertanyaan lain muncul, "Jika dulu aku bahagia, bisakah aku kembali seperti dulu?".

Hingga halaman yang sudah ditulis dengan pena berakhir. Tepat di hari ulang tahunku. Ah iya, aku tidak menulis di buku ini lagi setelah hari itu. Empat tahun berselang, dan aku kembali. Setelah kefanaan yang ku lewati tanpa berniat menuliskannya. Tanpa mengabadikannya. Kali ini, saatnya melupakan. Sudah waktunya berhenti menghukum diri. Dan sudah masanya, memaafkan diri sendiri.

Ada satu kenangan dalam empat tahun ini yang tidak akan ku lupakan. Di setiap musim yang aku jalani setelah buku ini lepas ku tulis. Di setiap musim kering hingga musim hujan bertukar porsi. Petrichor yang tidak pernah berubah. Petrichor yang selalu terkenang. Petrichor yang selalu memeluk hati yang sepi dan gundah.

Aku menyelesaikan tulisan di halaman buram milik buku bersampul biru yang ku genggam, bersamaan dengan rintik hujan yang kini menyisakan genangan. Aku sungguh terluka sejak kemarin dan kemarinnya lagi. Terlalu sesak, hingga lupa cara bernapas. Setelah ini, ku harap sesak itu lenyap.

Aku melangkahkan kaki. Keluar dari halte yang aku tempati sendiri sejak tadi. Hari ini, aku harus kembali berlari. Memperbaiki hati, memperbaiki mimpi dan memperbaiki langkah yang akan mewujud misi.

Bima Sakti, 2019.

Kita Dalam AksaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang