Kala Itu

294 14 10
                                    

Kala itu aku menatapmu dalam sendu. Semesta bergerak tanpa peduli pada aku dan tatapanku padamu. Sedang kamu hanya peduli pada benda pipih putih dalam genggaman tanganmu. Risaukah kamu? Atau ada yang sedang menunggu kabar darimu?

Diamku rindu. Akan jarak yang tak mau menyatu. Sekat itu begitu megah. Dan aku harus menghancurkannya dengan susah payah.

Berkali-kali kala senja waktu itu. Aku menatapmu lugu. Namun padanganmu selalu saja teralih pada benda itu. Tidakkah kau ingin menikmati deburan ombak dan aroma laut yang pekat denganku?

Aku mencoba mencari waktu. Dimana garis kita dapat bertemu. Namun semu. Hanya gagal yang bertamu. Mengapa saat aku tidak mengharapkanmu, kesempatan malah terbuka lebar untukku? Lalu ketika aku jatuh merindu, kamu malah jauh dari tangan ringkihku.

Harapanku kelabu. Namun dunia memberiku pilihan untuk menahan rasa atau tetap begitu. Aku malah dengan mantap memilih tetap merindu.

Dengan sadar, aku tau aku harus tegar. Kita tidak berada pada garis waktu yang sama. Kau jauh di barat sana, sedang aku bersahabat dengan terik fajar di timur angkasa. Semestamu jauh dari gapaian tangan. Tinggi. Sedang aku belum pernah mencoba berdiri.

Apa yang ku harapkan dari percakapan segelintir kali? Mungkin saja satu dua hari, kau bahkan tidak mengingat namaku lagi.

Keadaan kembali memberiku pilihan. Melepas angan semu atau teguh merindu? Tanpa berpikir, aku memilih teguh merindu. Bermain bersama angan semu dan asa sedu. Menitipkan salam pada langit jingga yang senja punya. Berharap sinsing fajar dapat memberikan balasan atas salam kemarin sore yang aku titipkan. Sekalipun mustahil, namun aku tetap duduk menunggu hasil. Pada malam yang sunyi, aku bertanya pada diri. Bolehkah aku menyebutmu dalam bait do'a pada semesta?

Aku paham, jarak takkan menyatu. Begitupun kamu yang mengenalku pada baris nama yang bisu. Kita telah kembali. Pada hari-hari yang sebelumnya biasa dilewati. Tapi ada beda yang menderu. Pada batas waktu yang memisahkan kau dan aku, aku kadang menggerutu. Kesal tak menentu. Namun percuma. Suaraku tak bermakna. Tanpa muara.

Senja, larik-larik cerita ini ku tulis saat kau kan membenam. Tolong, sampaikan salam. Aku merindukannya dalam diam dan penantian mendalam.

Bima Sakti, 2018.

Kita Dalam AksaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang