Sekat

100 6 2
                                    

Hujan memaksaku berteduh dari berjalan kaki. Rinainya deras, dan aku tidak akan sanggup menerabas. Alhasil, aku berlari cepat menuju kedai kopi di pinggi jalan. Lalu masuk dan mengambil tempat di ujung ruangan. Tepat disamping jendela.

Lama aku berdiam. Hingga secangkir vanilla latte datang diantar pelayan. Lamat aku meminumnya dengan tenang. Sambil memandangi hujan dari balik kaca ruangan.

Di luar, banyak orang berlari-lari, mencari tempat berlindung. Pengendara-pengedara motor terburu-buru untuk menepi dan meneduhkan diri. Anak-anak jalanan kecil sedang berlari-lari menikmati rintik hujan yang siang ini membumi.

Aku menatap nanar. Hujan mengembalikan ingatan lama yang tidak menguar. Tentang Tuhan dan kamu. Perihal rasa yang muncul namun tidak memiliki titik temu. Perihal sesuatu. Yang meninggalkan berkas semu. Di hatiku. Atau juga di hatimu.

Kala itu. Aku sesungguhnya telah mengenalmu sejak dulu. Namun entah kenapa, hari itu jutaan partikel penyusun rasa membuncah di hatiku. Bergetar saat bersitatap denganmu. Padahal sejak dulu, kita sering bertemu. Hampir setiap hari malah. Tapi kenapa dulu biasa-biasa saja tanpa ada rindu yang merekah?

Boleh jadi aku jatuh cinta. Itu cinta pertama ku. Rasanya lucu. Aku yang tidak tahu menahu tentang rindu dan sepupu-sepupunya itu malah menyukaimu dengan malu-malu.

Aku menarik senyum saat mengingat ketika aku jatuh cinta padamu dahulu. Mataku masih melihat ke luar jendela. Hujan belum usai. Masih deras. Dan ingatan-ingatan kejadian dulu juga masih berputar di kepala.

Waktu itu aku benar-benar menyukainya. Teman lelaki yang manis dan ramah diajak berbicara. Namun sayang, perihal rasa membuat keadaan merumit. Aku hampir tidak pernah berbicara dengannya walau sedikit. Tentu saja. Aku tidak mau menjadi bahan ejekan teman-temanku walau sedetik. Aku yang pemalu. Aku yang belum pernah mengerti tentang hal-hal seperti itu.

Kau tau? Aku yang jatuh cinta, tapi semua teman-temanku ikut berusaha. Berusaha mendekatkanku dengannya. Hingga singkat cerita, ia memiliki perasaan yang sama. Ya. Kita sama-sama saling suka.

Aku terkekeh pelan. Kemudian meminum vanilla latte milikku lamat-lamat.

Coba tebak, setelah sama-sama memiliki perasaan yang senada, apakah kita akan menjalin sebuah ikatan?

Jawabannya tidak.

Sekat maya yang tidak kita lihat rupanya. Sekat senada, meski tak sama, juga ada.

Kau tau?

Iman kita berbeda. Buat apa menjalani suatu ikatan, jika akhirnya saja sudah bisa ditebak dari awal? Kecuali jika ada yang mau mengalah. Tentunya bukan aku. Bukan dia juga.

Hingga pada akhirnya. Kita berdua sama-sama mengalah. Mundur dari kisah. Hingga tersisa harap-harap lemah. Berjalan sendiri tanpa harus saling menengok lagi.

Aku menggenggam cangkir vanilla latte dengan kedua telapak tangan. Pandangan mataku belum teralih dari hujan. Kali ini hujan hampir usai, dan hanya menyisakan gerimis. Pandangan mataku berubah tidak fokus. Mengingat bahwa aku membutuhkan waktu yang cukup lama untuk memulihkan luka-luka lama itu. Untuk menerima dengan lapang, tanpa perlu melupakan dan membenci apa-apa.

Aku selalu yakin, bahwa semua hal terjadi sebab memiliki tujuan. Kausalitas berlaku universal. Membumi. Melangit.

Boleh jadi, luka itu mengajarkan perihal keyakinan pada Tuhan. Bukan makhluk. Boleh jadi, luka itu mengajarkan perihal menerima bahwa kita berbeda. Tanpa harus memaksakan agar kita sama. Dan boleh jadi, luka itu mengajarkan agar kita-aku dan kamu-tidak terluka kembali sebab perihal yang sama.

Bima Sakti, 2019.

Kita Dalam AksaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang