Setelah Sekian

53 2 0
                                    

Relung terkepung dinginnya embun. Raga dipeluk getirnya malam. Hati dilingkup perasaan lama yang terpendam. Adapun malam-malam seperti ini aku lewati dalam diam. Terpisah jarak yang membentang tanpa mau memperpendek barang sebentar.

Berulang kali aku tersiksa, sebab rona wajah yang ku rindu itu muncul dalam mimpi-mimpi di tengah malam gulita. Membuatku terjaga, enggan menutup mata.

Jika saja suaraku terdengar olehmu, aku akan berteriak sejak lama. Namun kita sudah  saling menulikan diri dari kabar. Saling menutup mata dari pertemuan. Dan saling merasa masa bodoh dengan percakapan.

Kita dipertemukan Tuhan pada suatu siang. Lalu berlanjut pada harapan untuk bisa mendekat. Dan semesta mengabulkannya. Mendorong barisan takdir untuk mempertemukan kita di waktu selanjutnya. Sampai, di hatiku tertumpuk rasa. Yang semakin lama, meninggi menumbuhkan asa.

Dan kamu seakan menyambutnya. Lalu kita membuat masa, untuk tertawa bersama. Mengisi jeda-jeda masa sekolah yang kita punya. Bahagia, bisa saja mendeskripsikan kita. Sekalipun belum ada garis nyata yang memisah kita. Juga belum ada kata yang menyatukan kita. Tidak ada yang sadar, bahwa kebersamaan ini akan berujung pada dilema dan bermuara pada berakhirnya kata kita.

Suatu hari kamu bertemu seseorang selain aku. Dan kamu bak pangeran yang mengajak seorang putri berdansa, mengulurkan tanganmu. Dan sang putri, bagiku ia terlena. Ia jatuh cinta.

Setelah sekian masa, ada yang mengulur jarak di antara kita. Dan orangnya tidak lain adalah aku. Tidak ada jeda-jeda yang kita isi dengan bersama. Tidak ada teriakan pulang sekolah yang kita riuhkan berdua. Aku marah. Entah pada apa. Apakah pada perasaan bodoh yang aku punya. Atau pada dia yang berani menyukaimu dengan nyata. Berbanding terbalik dengan aku yang hanya bisa merapalkan dalam diam.

Setelah sekian lama yang kedua, kini giliran aku yang bertemu seseorang lain selain kamu. Aku lupa, pada perasaan yang aku punya kepadamu. Hingga kali ini, kamu mengulur jarak teratur, dan aku pun melakukan hal yang sama. Mundur dan merubah arah. Berbicara, bahwa kita bukan saling menuju. Bahwa kita bukan rumah untuk dituju bersama rindu.

Setelah sekian lama yang ketiga, aku memutuskan berjalan sendiri. Setelah menyadari bahwa rasa yang pernah menjulang itu masih ada disini. Masih sama. Masih utuh. Namun masa kita sudah habis. Penyesalan memang datang di akhir.

Di hari-hari kemudian. Kamu dengan langkahmu. Dan aku dengan rasa terpendamku. Pada masa ini kamu menyudahi. Masa masa sekolah yang harusnya rindu untuk dikenang kembali. Kamu enggan kembali. Sedang aku enggan berhenti menunggu dalam sepi.

Bima Sakti, 2019.

Kita Dalam AksaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang