Aku memilih senja sebagai jalan pulang. Sementara kau memilih fajar untukmu kembali dari tiap tualang. Aku tak tahu mengapa. Langkah kita yang kemarin seiring, kini harus bersilang. Apakah mungkin ada seling yang menjadikan selang di antara kita? Ataukah sesuatu yang lain terjadi saat kita telah benar menjadi satu?
Aku teringat saat aku berjuang keras menghidupkan kita dalam cerita. Sedang kau mencari-cari cara untuk memecah belah kita. Aku masih tetap tak mengerti. Mengapa dulu kau menghendaki adanya kita, namun kini kau juga yang mengharap tak pernah ada kita?
Jawab pertanyaanku!
Sisi sebelah mana yang membuatmu tak kerasan tinggal di rumahku? Tidakkah kau ingat dulu tak pernah kau beri waktu untuk aku mengarang satu pun alasanmu datang? Kini, segala sebabmu yang tak bisa kuindahkan sebagai takdir, memaksaku terus berpikir. Mencari jawab dari tanya yang sebenarnya hanya percuma.Kasih, aku beri tahu kau satu hal. Bahwa arah yang berlainan, tak membiarkanku pergi menjauh. Kakiku yang dapat melangkah tak dibarengi hatiku yang terlepas bebas. Ia tergenggam dan membuatku kian tak paham. Tak pernah ada secuilan benci yang hendak kutujukan kepadamu. Mengapa? Sebab keluh dan peluhmu yang masih merebah di bahuku, tak izinkan aku membuat keputusan dengan tegas; kau bukan untukku.
Kasih, beri aku kesempatan untuk mendengar keluh yang menjadi sebabmu terjeremba ke bumi di mana fajar terbit. Setelah itu, lepaskanlah. Biarkan aku berjalan ke arah di mana tak akan pernah lagi kutemui kau. Tenanglah. Tak akan banyak yang berbeda. Kita tetap teman yang dulu saling mengenal. Hanya aku tak lagi milikmu.
Maka jika benar di bumi bagian sana telah kau temui seorang perempuan bermata bidadari, jaga dirinya. Jangan biarkan ia terluka hingga memilih pergi. Aku, pamit.
KAMU SEDANG MEMBACA
NOVEMBER (Prosa)
RomanceSebab waktu di sepanjang November yang basah, menggeliatkan rindu yang resah. Dan hujan adalah lorong waktu bagi para penjelajah amygdala.