Judul: A Rocket To The Moon
Genre: Fiksi Remaja, Roman, Spiritual
Oleh: Sahlil Ge
Instagram: @sahlil_ge***************
》Setiap hari aku seperti sedang bermain catur dengan takdir. Sekeras apapun aku mengakali langkah skakmat, tetap saja selalu dikejutkan dengan langkah tak tertebak dari takdir itu sendiri. Rasanya ingin kumenangkan semuanya. Meski kenyataannya aku seperti bergerak cepat pada efek bokeh. Hanya jelas di fokus menurutku dan blur sekitarnya tanpa aku tahu.
...
Beberapa minggu yang lalu adalah hari bersejarah yang paling kacau dalam hidupku. Ini bukan cuma tentang aku sama Marvin yang lagi berantem hebat. Dia memang pacar yang nyebelin. Tapi ada hal lain yang benar-benar bikin aku seolah diskakmat sama takdir dan 'ampun deh nggak bisa ngapa-ngapain.'Saat itu aku baru pulang dari bimbel persiapan masuk perguruan tinggi. Ya, meskipun aku baru kelas sebelas. Tapi logo ITB dan Saturnus yang digambar mural pada dinding kamarku, nggak bisa dibiarkan jadi mimpi tempelan yang diam tanpa aku perjuangkan mewujudkannya. Toh sebulan lagi aku sudah kelas dua belas.
Setelah bimbel aku masih harus masuk kelas bulu tangkis dengan komunitasku. Jadi nggak salah kalau saat itu aku pulang dengan memakai kaos yang basah oleh keringat, celana training pendek, aroma kolon yang udah campur aduk sama keringat, dan rambut kuncir kuda yang sudah nggak rapi lagi. Sore dan sangat capek. Biasanya jam-jam segitu Papa belum pulang dari kantornya. Tapi berbeda kali itu. Dia sedang mengobrol dengan seorang tamu ketika aku pulang.
"Astrid," panggil Papa dari kursi tamu ketika aku baru saja melewati pintu utama.
Aku tersenyum dan melangkah padanya. Mencium tangan. Lumayan senang karena jarang sekali Papa ada di rumah jam-jam segini.
Lalu Papa memperkenalkanku pada tamu itu. Seorang laki-laki yang jika kutaksir usianya sepantaran dengan Papa. Atau lebih tua. Hanya saja, gimana ya, beliau terlihat berwibawa. Patut disegani sepertinya. Senyumnya ramah. Memakai jas formal. Sarung juga (ha?).
"Ini Kiai Adam," Papa memperkenalkan.
Tunggu, sejak kapan rumahku kedatangan tamu semacam 'Kiai'? Atau pertanyaan lebih tepatnya sejak kapan Papa berkerabat dengan orang-orang seperti 'Kiai'?
Aku menyalami orang itu seraya menyebut nama.
"Nak Astrid kelas berapa?" beliau bertanya.
Aku malah menoleh ke Papa. Dan yang kudapat hanyalah isyarat supaya aku menjawab pertanyaan itu.
"Kelas sebelas, Om," jawabku.
"Oh," beliau mengangguk-angguk, "Berarti masuk Juli nanti sudah kelas dua belas ya?"
"Betul, Om."
"Jangan panggil Om dong, Trid. Pak Kiai," Papa mengoreksi.
"Pak Kiai," aku meralat.
KAMU SEDANG MEMBACA
NURAGA [Sudah Dibukukan]
Spiritual[SELESAI] Definisi cinta dari sudut pandang yang tak terwakili. Kata siapa remaja tidak bisa berprinsip? #RemajaIslam