BAB 9: Dilarang Jatuh Cinta Di Jalan Raya

7.6K 1.3K 287
                                    

Selamat malam!

Jangan lupa budayakan kasih bintang dulu sebelum membaca sebagai wujud dukunganmu. ☺ Jangan sungkan untuk berkomentar. #RemajaBermoral #VoteForARTTM

***

Astrid

***

Seandainya dalam hidupku ada award yang perlu dibagikan kepada seseorang dengan kategori tertentu, maka piala untuk kategori cowok paling nggak jelas tahun ini akan aku berikan cuma-cuma untuk Sultan.

Kemarin kita nunggu angkot bareng waktu pulang dari bimbel. Tapi apa? Ketika ada angkot yang berhenti, seperti yang sudah-sudah dia nggak naik. Alasannya mau ada perlu ke pasar lagi. Maksudnya apa coba? Dia sambil jualan sayur kol di pasar?

Terus sebelum ada angkot datang aku sempat ngobrol sama dia gini,

"Kamu besok bimbel kan?" tanya Sultan. Kadang aku sadar betapa kontrasnya aku kalau lagi ngobrol sama dia. Caranya yang kalau bicara lemah lembut, gentle gitu. Dan aku ngelayaninnya dengan intonasi yang lebih tinggi. Sebenarnya ini hanya caraku untuk menyamarkan apa saja yang bisa bikin aku gentar.

"Kan udah dibayar. Sayang kalau nggak berangkat."

"Oke."

"Kenapa harus tanya?"

"Sepertinya besok saya perlu bantuan."

"Bantuan apa?"

"Mm, besok saja."

"Aku belum mengiyakan lho. Kalau sampai nggak jelas dan cuma bercandaan nggak penting, aku nggak akan mau. Lagian apa otoritasmu nyuruh aku?"

Dia menghela napas, "Ini bukan nyuruh. Saya minta bantuan. Dan jawabannya sederhana, iya atau tidak. Kalau nggak mau ya sudah."

"Dan pertanyaanku jauh lebih sederhana. Mau tolong apa? Tapi kamu malah jawab besok saja seolah aku akan mengiyakan."

Alih-alih jengkel dia malah tersenyum. Sok keren lagi. "Kamu rewel juga ya," aku jelas mendengar dia bilang gitu meskipun tadi lirih banget.

"Apa?!"

"Nggak, itu ada angkot."

Hari ini. Setelah seperti biasa nyuci baju dulu, aku berangkat ke pertigaan. Aku antisipasi sarapan surabi santan anget yang lewat depan asrama, khawatir kejadiannya seperti minggu lalu yang nahan lapar sampai sore. Konsentrasi buyar bisa-bisa.

Waktu aku sampai di pertigaan, ada mas-mas yang sedang berdiri dan dadah-dadah. Aku menoleh ke belakang barang kali ada seseorang yang dia maksud.

Namun kemudian mas itu berseru, "Neng Astrid, buru, ayo Neng." Ha? Ke aku?

Ketika semakin dekat dan aku ingat-ingat, ternyata itu sopir angkot yang minggu lalu.

Tunggu, kenapa orang ini tahu namaku?

"Ayo Neng, udah mau berangkat," katanya lagi saat aku sudah menyeberang.

Aku berjalan mengikuti mas itu ke angkot, lalu masuk. Dan ternyata di jok depan ... sudah ada Sultan. Gila. Jangan bilang ini ulah dia.

"Udah Gus nggak ada yang ditunggu lagi?" tanya sopir angkot itu.

"Jalan," pinta Sultan sambil pasang earphone.

Astagfirullah, Samsul!
Sembarangan banget sih nyuruh yang lebih tua. Ya kalau mau jalan, kenapa nggak jalan aja dari tadi. Toh di belakang masih banyak angkot yang lagi ngetem. Udah gitu dia seperti biasa pasang earphone sepanjang perjalanan.

NURAGA [Sudah Dibukukan]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang